Header Ads

PENDEKATAN POLITIK DALAM KAJIAN ISLAM (STUDI TENTANG ZAKAT)


 

PENDEKATAN POLITIK DALAM KAJIAN ISLAM

(STUDI TENTANG ZAKAT)

 

Muhamad Agus Soleh

Mahasiswa Universitas PTIQ Jakarta

agussoleh178@gmail.com

 

 

Abstrak

Artikel ini mengungkap politik termasuk salah satu bidang studi yang menarik perhatian masyarakat.Politik menjadi ikhtiyar manusia menciptakan tatanan masyarakat yang baik. Karenanya, politik mempengaruhi kehidupan masyarakat. Masyarakat yang tertib, aman, damai, sejahtera, lahir dan batin tidak dapat dilepaskan dari sistem politik yang diterapkan. Pendekatan politis berarti adalah salah satu upaya memahai agama dengan cara menanamkan niai-nilai agama pada lembaga sosial agar timbul motivasi atau keinginan untuk meraih kebahagiaan dan kesejahteraan serta perdamaian pada masyarakat. Hubungan politik dan agama tidak dapat dipisahkan. Politik merupakan hasil pemikiran agama agar tercipta kehidupan yang harmonis dan tentram dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan zakat adalah salah satu bagian dari ajaran Islam yang erat kaitannya dengan politik.

Kata Kunci : Pendekatan, politik,  Islam, zakat

 

 

Abstract

This article reveals that politics is one of the fields of study that attracts people's attention. Politics is a human endeavor to create a good social order. Therefore, politics affects people's lives. An orderly, safe, peaceful, prosperous, physical and spiritual society cannot be separated from the applied political system. The political approach means that it is an effort to understand religion by instilling religious values in social institutions so that motivation or desire arises to achieve happiness and prosperity and peace in society. The relationship between politics and religion cannot be separated. Politics is the result of religious thought in order to create a harmonious and peaceful life in the life of the nation and state. And zakat is one part of Islamic teachings that is closely related to politics.

Keywords: Approach, politics, Islam, Zakat

 

 

Pendahuluan

            Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai segi kehidupan manusia. Islam tidak hanya mengatur hubungan yang baik antara manusia dan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan yang baik dengan manusia dan dengan alam semesta. Ajaran Islam yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan Allah dalam arti yang formal, khusus dan langsung diatur dalam ilmu tauhid, fikih dan tasawuf. Adapun hubungan manusia dengan manusia dalam arti yang formal, khusus dan langsung diatur dalam ilmu sosial dan ilmu politik. Secara spesifik dalam kajian tersebut, yaitu melalui ilmu politik, manusia selain diperkenalkan tentang cara mendapatkan, mengelola dan mempertahankan kekuasaan, juga diajarkan tentang hukum dan etika politik.

            Islam memiliki ajaran yang selain berhubungan dengan kewajiban yang bersifat individual yang disebut fardhu ‘ain, juga berhubungan dengan kewajiban kolektif yang disebut fardhu kifayah. Ajaran yang bersifat kolektif ini termasuk ajaran yang berkenaan dengan masalah politik. Dengan ajaran yang bersifat kolektif ini, maka harus di antara anggota masyarakat yang mengurusi masalah politik dalam rangka mewujudkan situasi masyarakat yang tertib, aman, damai, harmonis dan sejahtera.

Di dalam Al-Qur’an selain terdapat ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk taat kepada pemimpin, keharusan pemimpin yang berbuat adil, memutuskan perkara dengan cara musyawarah, melindungi hak-hak asasi manusia, bersikap jujur, amanah, berani menegakkan kebenaran, cerdas, sehat jasmani dan rohani. Ini semua yang harus dipelajari oleh umat Islam.

Saat ini ada keinginan yang kuat dari seluruh masyarakat dunia untuk mewujudkan keadaan tatanan politik masing-masing negara yang lebih tertib, aman, damai, harmonis, dan sejahtera, yaitu keadaan masyarakat yang terbebas dari permusuhan atau peperangan antara satu bangsa dengan bangsa lain, bebas dari tindakan terorisme, anarkisme dan radikalisme, bebas dari perbudakan dan eksploitasi, bebas dari pelanggaran hak-hak asasi manusia. Untuk mewujudkan kondisi tersebut, masing-masing agama, melalui pemimpinnya, diwajibkan memberi kontribusinya, termasuk ajaran Islam.[1] Oleh karena itu diperlukan suatu pendekatan dalam studi Islam untuk memahami hal tersebut, agar terciptanya kehidupan manusia yang aman, damai, dan bebas dari hal-hal yang mengancam kehidupan manusia. Dan pendekatan yang cocok untuk permasalahan ini adalah pendekatan politik.

 

 

Pembahasan

Pengertian Politik Dan Ruang Lingkup Politik

Politik secara etimologi berasal dari perkataan bahasa Yunani purba, yaitu polis yakni kota yang terdapat dalam kebudayaan Yunani purba, yang pada saat itu kota dianggap identik dengan Negara. Polis yang berarti kota/negara, kemudian berkembang menjadi polities yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara, dan politikos yang berarti kewarganegaraan.[2]

Dalam KBBI 2023, politik berarti : (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan), segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah); dan kebijaksanaan.[3]

Politik adalah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan menggunakan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia. Sedangkan politik Islam berarti aktivitas politik sebagian umat Islam yang menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok.[4]

Politik dalam kajian Islam disebut Siyasah, yang selanjutnya kata ini kemudian diterjemahkan menjadi siasat. Politik itu sendiri berarti cerdik dan bijaksana, yang dalam pembicaraan sehari-hari kita seakan-akan  mengartikan sebagai suatu cara yang dipakai untuk mewujudkan tujuan, tetapi para ahli politik sendiri mengakui bahwa sangat sulit memberikan definisi untuk ilmu politik.[5]

            Politik biasanya diwakili oleh kata al Siyasah dan Daulah, walaupun kata-kata tersebut dan kata-kata lainnya yang berkaitan dengan politik seperti keadilan, musyawarah, pada mulanya bukan ditujukan untuk masalah politik. Kata Siyasah dijumpai dalam bidang kajian hukum, yaitu ketika berbicara masalah Imamah, sehingga dalam fiqih dikenal adanya bahasan tentang Fiqih Siyasah. Demikian pula kata Daulah pada mulanya dalam Al-Qur’an digunakan untuk kasus penguasaan harta di kalangan orang kaya, yaitu bahwa dengan zakat diharapkan harta tersebut tidak hanya berputar pada tangan-tangan orang kaya. Karena menurut sifatnya harta tersebut harus bergilir dan berputar, dan tidak hanya dikuasai oleh orang yang kaya (daulatan baina agniya), kata daulah tersebut juga digunakan untuk masalah politik yang sifatnya berpindah dari satu tangan ke tangan yang lainnya. Demikian juga kata keadilan banyak digunakan dalam memutuskan perkara dalam kehidupan, dan kata musyawarah pada mulanya digunakan pada kasus suami istri yang akan menyerahkan anaknya untuk disusui oleh perempuan lain yang dalam  hal ini perlu dimusyawarahkan.[6]

Namun dalam perkembangan selanjutnya sejarah menggunakan kata Siyasah dan kata-kata lain yang maknanya berkaitan dengan kata tersebut digunakan untuk pengertian pengaturan masalah kenegaraan dan pemerintahan serta hal-hal lainnya yang terkait dengannya.

Menurut Prof.Dr.H. Ahmad Sukarja, SH., MA., Fiqh Siyasah adalah ilmu tata negara, yang membicarakan tentang seluk-beluk kenegaraan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan tuntunan syariat. Kata atau istilah lain yang semakna dengan itu adalah Siyasah Syar’iyah, al-Ahkam al-Sulthaniyah dan al-Khilafah. Pada prinsipnya, ada empat hal pokok yang dibicarakan dalam Fiqh Siyasah, yaitu (1) Institusi pemerintahan sebagai pengendali aktifitas pemerintahan, (2) masyarakat sebagai pihak yang diatur, (3) kebijaksanaan dan hukum yang menjadi instrumen pengaturan masyarakat dan (4) cita- cita ideal dan tujuan yang hendak dicapai.[7]

            Pada dasarnya politik mempunyai ruang lingkup negara, karena teori politik menyelidiki negara sebagai lembaga politik yang mempengaruhi hidup masyarakat, jadi negara dalam keadaan bergerak. Selain itu politik juga menyelidiki ide-ide, azas-azas, sejarah pembentukan negara, di samping menyelidiki hal-hal seperti kelompok elit, kelompok kepentingan, kelompok penekan, pendapat umum, peranan partai politik, dan keberadaan pemilihan umum.

            Masalah politik termasuk salah satu bidang studi yang menarik perhatian masyarakat pada umumnya . Hal ini antara lain disebabkan karena masalah politik selalu mempengaruhi kehidupan masyarakat. Masyarakat yang tertib, aman, damai, sejahtera lahir dan batin dan seterusnya tidak dapat dilepaskan dari sistem politik yang diterapkan. Karena demikian pentingnya masalah politik ini, telah banyak studi dan kajian yang dilakukan para ahli terhadapnya.

Pendekatan Politik dalam Studi Islam

Pendekatan politik adalah salah satu upaya memahami agama dengan cara menanamkan nilai-nilai agama pada lembaga sosial agar timbul motivasi atau keinginan untuk meraih kebahagiaan dan kesejahteraan serta perdamaian pada masyarakat.

Pendekatan politik dibagi menjadi lima, yaitu:[8]

1.      1. Pendekatan Politik Dekonfessionalisasi

Secara garis besar, untuk menyatukan perbedaan antara kelompok dan memelihara hubungan politik bersama dalam sebuah negara, seluruh identitas keyakinan simbol-simbol kelompok harus bisa ditinggalkan untuk sementara waktu dalam rangka mencapai suatu kesatuan dan kebersamaan yang lebih besar.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa perdekatan politik dekonfessionalisasi adalah pendekatan/usaha dengan meninggalkan seluruh identitas keyakinan yang berupa simbol dalam sementara waktu untuk menyatukan perbedaan antar kelompok dan memelihara hubungan politik besama dalam sebuah negara agar tercapai suatu kesatuan dan kebersamaan yang lebih besar.

Pancasila sebagai ideologi digunakan bangsa Indonesia untuk menjadikan bernegara. Dari situ bukan berarti Islam kalah dengan pancasila tetapi di dalam pancasila tersimpan nilai-nilai Islam yaitu keesaan Tuhan, demokrasi, keadilan sosial dan kemanusiaan.

1.      2. Pendekatan Politik Domestikasi Islam

Teori ini menggambarkan hebatnya Islam berkembang di Indonesia tetapi lumpuh karena didominasi kekuatan lokal. Menurut Harry J. Benda dalam Daniel Dokhada, berpandangan bahwa bangkitnya Mataram Islam sebenarnya adalah kekuatan Hindu Jawa bukanlah Islam itu sendiri.

3. Pendekatan Politik Skismatik Aliran

Teori ini dikembangkan oleh Robert Jay dan Clifford Goerta. Pendekatan skismatik memberikan gambaran tentang adanya realitas kelompok aliran dalam kehidupan sosial, budaya dan politik serta agama dalam masyarakat jawa. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa, kekuatan diluar Islam yang senantiasa menyaingi bahkan menjinakkan yaitu kelompok abangan dan priayi

4. Pendekatan Politik Trikotomi

Pendekatan ini dikembangkan Allan Samson dalam aliran ini menjelaskan karakteristik Islam tidak dapat dilihat secara tunggal seperti santri yaitu mereka yang tetap mempertahankan Islam sebagai baris dan norma dalam berpolitiknya. Politik santri dibagi menjadi tiga, yaitu:

a.       Fundamentalis, yaitu menetapkan agama dalam aspek kehidupan, termasuk bernegara.

b.      Reformis, yaitu menempatkan secara rasional posisi Islam dalam kehidupan politik termasuk membangun relasi bagi penerapan kepentingan Islam.

c.       Akomodisionis, yaitu kelompok santri yang lebih terbuka walau sepintas tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

Dari metode gerakan tersebut merupakan langkah terpenting sebagai jalan berfikir/alat negosiasi dalam politik

5.  Pendekatan Politik Kultural/Diversifikasi

Menurut Emmerson, Islam dalam skala kebudayaan memiliki kemenangan yang hebat di Indonesia. Teori ini mengarahkan kembali energi politik umat Islam ke dalam kegiatan non politik. Islam kultural akan memunculkan Islam yang lebih simpatik dan subtantif. Dari penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kultural menjelaskan islam sebagai kekuatan budaya yang berhasil dalam menaklukan kekuatan politik.

 

Pandangan Islam Tentang Politik

            Di kalangan masyarakat Islam pada umumnya kurang melihat hubungan masalah politik dengan agama. Hal ini antara lain disebabkan karena pemahaman yang kurang utuh terhadap cakupan ajaran Islam itu sendiri. Kuntowijoyo misalnya mengatakan: “Banyak orang, bahkan pemeluk agama Islam itu sendiri, tidak sadar bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi sebuah komunitas (umat) tersendiri yang mempunyai pemahaman, kepentingan  dan tujuan-tujuan politik sendiri. Banyak orang beragama Islam, tetapi hanya menganggap Islam adalah agama individual, dan lupa kalau Islam juga merupakan kolektivitas. Sebagai kolektivitas, Islam mempunyai kesadaran, struktur, dan mampu melakukan aksi bersama”.[9] Pernyataan tersebut selanjutnya dijelaskan oleh Kuntowijoyo secara meyakinkan dalam bukunya itu, bahwa Islam memiliki konsep tentang politik.

            Saat Nabi Muhammad saw berada di Madinah, beliau tidak hanya mempunyai sifat sebagai Rasul Allah, tetapi juga mempunyai sifat sebagai kepala negara. Dan sebagai kepala negara, setelah beliau wafat mesti diganti oleh orang lain untuk memimpin negara yang beliau tinggalkan. Para peneliti sejarah politik ada yang mengategorikan bahwa corak politik yang diterapkan oleh Nabi Muhammad saw adalah bercorak teo-demokratis, yaitu pola pemerintahan yang dalam menyelesaikan setiap persoalan terlebih dahulu melakukan musyawarah baru kemudian menunggu ketetapan dari Tuhan. Hal ini dimungkinkan karena pada masa Nabi Muhammad saw masih dalam proses turunnya wahyu.

            Era Rasulullah saw mencerminkan persatuan, usaha, dan pendirian bangunan umat serta menampilkan ruh (spirit) yang mewarnai kehidupan politik. Dan mewujudkan replika bangunan masyarakat yang ideal untuk diteladani dan ditiru generasi-generasi yang datang kemudian. Namun, pemikiran teoritis saat itu belum dimulai. Hal ini tentu amat logis dengan situasi yang ada, yang belum ada kebutuhan terhadap hal itu. Namun demikian belum lagi era tersebut berakhir, sudah muncul faktor-faktor fundamental yang niscaya mendorong timbulnya pemikiran ini, dan membentuk teori-teori secara lengkap. Di antara faktor-faktor yang terpenting ada tiga hal: pertama, sifat sistem sosial yang didirikan oleh Rasulullah saw. Kedua, pengakuan akan prinsip kebebasan berfikir untuk segenap individu. Ketiga, penyerahan wewenang kepada umat untuk merinci detail sistem ini, seperti tentang metode manajerialnya, dan penentuan beberapa segi formatnya.

            Sistem yang dibangun oleh Rasulullah saw dan kaum mukminin yang hidup bersama beliau di Madinah, jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan variabel-variabel politik di era modern tidak disangsikan lagi dapat dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem politik par excellence. Dari nama yang dipilih Nabi saw bagi kota hijrahnya itu menunjukkan rencana Nabi saw dalam rangka mengemban misi sucinya dari Tuhan, yaitu menciptakan masyarakat berbudaya tinggi, yang kemudian menghasilkan suatu identitas politik, yaitu sebuah negara. Dalam waktu yang sama, juga tidak menghalangi untuk dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem relegius, jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motif-motifnya, dan fundamental maknawi tempat sistem itu berpijak.

            Setelah Rasululullah saw wafat, secara berturut-turut pemerintahan negara dipegang oleh Abu Bakar, kemudian oleh Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Corak pemerintahan yang dipraktikkan oleh para khalifah yang empat ini bebeda dengan yang dipraktikkan  di zaman Nabi Muhammad saw. Pada zaman khalifah yang empat ini, bercorak pemerintahan aristokrat demokratik, yaitu sistem pemerintahan yang dalam menyelesaikan setiap masalah yang timbul dengan cara musyawarah yang para anggotanya terdiri  dari kalangan aristokrat. Bahkan dalam pemilihan khalifah pun dilakukan secara musyawarah. Namun ironi bahwa bibit perpecahan umat disebutkan terjadi pada masa Utsman bin Affan  dan mencapai puncaknya di zaman khalifah Ali bin Abi Thalib. Sebab-sebabnya antara lain adalah, pemerintah Utsman bin Affan sudah kurang lurus. Politik nepotisme yang diterapkan di zaman ini menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan kedudukannya.

            Selanjutnya setelah Utsman wafat, Ali bin Abi Thalib tampil menggantikannya. Tetapi segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, tertuma Thalhah dan Zubair dari Mekkah yang mendapat dukungan dari Aisyah, tantangan yang datang dari Muawiyah Gubernur Damaskus, dan selanjutnya membawa kepada terjadinya peperangan yang diselesaikan dengan Tahkim (arbitrase) yang secara politik dan diplomatik mengalahkan pihak Ali. Keadaan ini kemudian memicu ketidakpuasan sebagian pengikutnya dan mereka keluar dari barisan Ali dan membentuk aliran Syiah, sedangkan mayoritas lainnya menamakan dirinya sebagai kaum suni. Pengelompokan umat semacam ini terus berlangsung sampai sekarang dan kemudian berpengaruh terhadap  corak ajaran agama Islam.[10]

            Dengan demikian, peristiwa-peristiwa yang berentetan ini telah menyingkap adanya tiga partai: partai kerajaan monarki, partai Muhakkimah atau Khawarij, dan partai Syiah yang ada di seputar Ali dan anak-anaknya. Dan kontradiksi yang terjadi masing-masing, serta relasi-relasi yang bermacam-macam yang tumbuh di antara mereka, itulah yang berperan bersama dalam sejarah Dinasti Umayyah, sampai akhir abad pertama hijriyah, minimal.

            Adapun pandangan Islam tentang politik dapat dipahami dari ayat-ayat Al Quran dan Hadits berikut:

يَآ أَيهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa: 59)

 


وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلائِفَ الأرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ  وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيم. 

“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia mengangkat (derajat) sebagian kamu diatas yang lain, untuk mengujimu atas (karunia) yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat siksaan-Nya dan sungguh Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-An’am: 165)

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin selain dari orang-orang mukmin. Apakah kamu ingin memberi alasan yang jelas bagi Allah (untuk menghukummu) ?”  )Q.S. An-Nisa: 144)   

 

            Hadits Nabi Muhammad Saw. berbunyi:

كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته.  (رواه بخاري و مسلم)

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan ditanyai tentang kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

            Dari beberapa ayat tersebut dijumpai berbagai istilah yang berkaitan dengan pemimpin dan ketaatan kepada pemimpin.

            Agama Islam menganut politik yang fleksibel, yakni sistem politik yang dapat menerima berbagai bentuk sistem pemerintahan, seperti kerajaan (monarki), kesultanan, republik Islam, parlementer, gabungan antara parlementer dan kerajaan. Saudi Arabia dan Brunei Darussalam menggunakan bentuk monarki atau kerajaan; Pakistan dan Iran, misalnya menggunakan bentuk republik negara Islam; Malaysia menggunakan gabungan antara kerajaan dan parlementer; dan Indonesia menggunakan bentuk negara kesatuan Republik Indonesia, namun memberikan hak dan melindungi  pada setiap rakyatnya untuk memeluk, memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agamanya masing-masing (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghuchu)

            Dengan demikian, Islam tidak sepenuhnya sejalan dengan pendapat Syekh Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, syekh Muhammad Ridha, dan Al-Maududi yang menyatakan bahwa sistem ketatanegaraan atau politik Islam yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw dan oleh para Khulafaur Rasyidin.

            Islam juga menolak pendirian Ali Abd. Al-Raziq dan Thaha Husein yang mengatakan, bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini, Nabi Muhammad saw hanyalah seorang Rasul biasa seperti rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas yang tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan mendirikan atau mengepalai satu negara. Islam tidak sejalan atau bertolak belakang dengan pendapat serupa ini.

            Dalam hal pandangan politik, Islam membenarkan pendapat Mohammad Husein Haikal yang berpendirian, bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat nilai etika bagi kehidupan ketatanegaraan.[11]

            Islam memberi keleluasan terhadap manusia selaku khalifah di muka bumi ini, yaitu manusia mengemban amanat Allah untuk mengatur dan membuat rasa aman di muka bumi ini. Oleh karena itu supaya tidak terjadi pertumpahan darah dan perusakan di  alam dunia ini, maka manusia baik secara individu atau kelompok memilih orang-orang yang terbaik untuk memerintah dan mengatur kondisi masyarakat atau negara, agar tercapai tujuan kedamaian dan keamanan di masyarakat (negara). Islam tidak memberi atau memaparkan bentuk pemerintahan yang khusus, melainkan memberikan prinsip-prinsip yang tidak boleh ditinggalkan dalam sebuah pembentukan negara (politik). Seperti: prinsip keadilan, musyawarah, persamaan, ketaatan kepada pemimpin, konsultasi dan kebebasan dalam beragama.

 

Pemikiran Tokoh Tentang Politik Islam

1.      Al-Farabi

            Al-Farabi adalah yang menyiapkan permulaan yang otoritatif untuk terjadinya integrasi antara filsafat Yunani dan berbagai cabangnya di satu pihak dan filsafat Islam di pihak lain. Bagi Al-Farabi, usahanya itu tidak hanya merupakan sebuah program ambisius dalam pembaruan politik yang bertujuan membangun kembali fondasi politik sebuah masyarakat religius. Ide-idenya jelas sangat menarik, terlepas dari fakta bahwa dia tidak memiliki pengaruh besar terhadap praktik politik atau pemerintahan pada zamannya. Meski demikian, pengaruhnya terhadap pemikir yang datang setelahnya tidak dapat dibantah.

            Al-Farabi memulai dengan pernyataan mengenai pentingnya sebuah asosiasi politik. Pemikiran politiknya berkaitan dengan tujuan utama kehidupan manusia dan metode pencapaian tujuan tersebut. Menurutnya, tujuan akhir dari usaha manusia ialah kebahagiaan. Dia percaya bahwa negara adalah alat (instrument) yang tepat untuk mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan sejati itu. Dengan kata lain, manusia membutuhkan asosiasi politik, yaitu dalam bentuk sebuah negara-kota yang dipimpin oleh raja-filosof yang diidentifikasi sebagai pembuat hukum dan imam agar bertahan dan berjuang mewujudkan kesempurnaan. Lebih jauh, manusia tidak bisa menyediakan untuk diri mereka kebutuhan-kebutuhan hidup atau apa saja yang mereka butuhkan dalam rangka mencapai kesempurnaan tanpa bantuan orang lain.

 

2.      Al Mawardi

            Al Mawardi cenderung lebih bersifat realistik dan berorientasi pada masalah konstitusi kenegaraan, sementara Al Farabi bersifat idealistik dan mengutamakan pemikiran politiknya tentang kualitas pemimpin (kepala negara). Bagi Al Mawardi, agar terciptanya kerja sama yang baik antar warga masyarakat maka institusi negara menjadi sangat dibutuhkan. Penyelanggaraan pemerintahan (kenegaraan) harus melalui apa yang disebut dengan “kontrak sosial” yakni kooperasi antara kepala negara (eksekutif) dengan kelompok ahlul hal wal aqdi (legislatif). Kepala negara merupakan khalifah kenabian. Beberapa faktor pendukung utama negara adalah: organisasi, penguasa, nilai keadilan, stabilitas, basis ekonomi serta system pembangunan yang berkelanjutan.

3.      Al-Ghozali

            Pemikiran politik Al Ghozali memiliki khas tersendiri dibanding Al-Farabi maupun Al-Mawardi, dimana Al-Ghozali menekankan soal profesi kerja yakni pertanian, pemintalan (tenun), pembangunan dan politik. Tentang profesi politik merupakan profesi yang terbaik, menurut Al-Ghozali tentunya sesuai dengan kondisi waktu itu, Ghozali memperkenalkan empat departemen pokok  dari profesi politik ini yaitu bidang agraria, hankam, kehakiman dan kejaksaan.

            Menurut Al Ghozali, kehidupan dunia ini merupakan ladang akhirat. Maka negara butuh seorang pemimpin yang dapat menjamin terselenggaranya berbagai profesi rakyat ( soal lapangan pekerjaan). Bagi Al Ghozali, agama dan negara (penguasa) ibarat fondasi maupun pelindung. Agama dan negara itu menyatu, tidak tersekularistis. Agama dipimpin oleh Nabi, sedangkan negara dipimpin oleh raja. Kedudukannya merupakan manusia pilihan Tuhan.

4.      Ibnu Taimiyah

            Ibnu Taimiyah mengemukan pendapat politiknya terutama yang berkaitan dengan teori khilafah. Ia mengatakan bahwa konsep khilafah sebagaimana pemahaman di masa Abbasiyah bukan bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits tetapi pemahaman konsep khilafah di masa klasik. Sikap Ibnu Taimiyah lebih cenderung dinilai bahwa pemikiran politiknya lebih dekat dengan kelompok Khawarij. Menurut Ibnu Taimiyah, konsep negara, tidak ada dalam Al Qur’an, yang ada hanya unsur-unsur negara itu sendiri seperti, keadilan, persaudaraan, pertahanan, kedamaian, kepatuhan dan lain-lain.

            Ibnu Taimiyah tidak mengakui adanya konsep negara tunggal seluruh dunia Islam, ini sangat utopis. Dengan demikian, ia tidak mengakui secara implisit istilah negara Islam atau sistem khilafah negara-negara Islam. Baginya yang penting setiap negara tetap sebagai penyelenggara syariah. Konsepsi Islam Ibnu Taimiyah mirip bentuk nomokrasi. Ia menyatakan  Islam bukan monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Ibnu Taimiyah tampaknya bergeser dari pemikiran khilafah ke sistem pemerintahan modern yang lebih fragmatis, fungsional, dan rasional. Walaupun demikian, secara tekstual, beliau identik dengan  Al Ghozali dalam hal kepala negara, dimana eksistensi kepala negara itu diperlukan bukan saja sekedar menjamin keselamatan jiwa dan harta rakyat maupun telah terpenuhi kebutuhan bidang material tetapi lebih dari itu untuk menjamin berlakunya syariat.

5.      Ibnu Khaldun

            Dalam bukunya yang sangat terkenal yaitu “Al Muqaddimah”, beliau menulis antara lain bahwa kerajaan dan dinasti hanya bisa ditegakkan atas bantuan solidaritas rakyat, karena kemenangan terdapat di pihak yang memiliki solidaritas lebih kuat dan yang para anggotanya lebih sanggup berjuang dan bersedia mati demi kepentingan bersama.

            Selanjutnya, Ibnu Khaldun juga menulis bahwa apabila negara sudah berdiri dengan tegak, negara tersebut dapat meninggalkan solidaritas sosial, karena negara yang baru didirikan hanya memiliki kepatuhan rakyat dengan bantuan banyak paksaan dan kekerasan, walaupun rakyat sendiri belum membiasakan diri dengan kekuasaan yang baru dan asing tersebut.

            Dalam penjabaran etika  bernegara, Ibnu Khaldun sangat berpatokan kepada perilaku kehidupan Nabi Muhammad Saw. yaitu sebagai Nabi dan Rasul serta selaku kepala pemerintahan dan kepala negara beliau tegas dalam memburu dekadensi moral, tetapi dalam menghadapi yatim piatu dan orang tua jompo, beliau sangat berbelas kasih, karena Nabi itu sendiri diutus untuk menyempurnakan budi pekerti, termasuk dalam etika bernegara.[12]

 

 

MENGKAJI  ZAKAT DENGAN  PENDEKATAN  POLITIK

Tentang Zakat

Zakat berasal dari bentuk kata "zaka" yang berarti suci, baik, berkah, tumbuh, dan berkembang. Dinamakan zakat, karena didalamnya terkandung harapan untuk memperoleh berkah, membersihkan jiwa dan memupuknya dengan berbagai kebaikan.(Sayyid Sabiq, 1971)

            Makna tumbuh dalam arti zakat menunjukkan bahwa mengeluarkan zakat sebagai sebab adanya pertumbuhan dan perkembangan harta, pelaksanaan zakat itu mengakibatkan pahala menjadi banyak. Sedangkan makna suci menunjukkan bahwa zakat adalah mensucikan jiwa dari kejelekan, kebatilan dan pensucian dari dosa-dosa.

            Dalam Al-Quran disebutkan, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka”. (QS. At-Taubah [9]: 103).

            Menurut istilah dalam kitab al-Hâwî, al-Mawardi mendefinisikan zakat dengan nama pengambilan tertentu dari harta tertentu, menurut sifat-sifat tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu. Orang yang menunaikan zakat disebut Muzaki. Sedangkan orang yang menerima zakat disebut Mustahik.

            Sementara menurut Peraturan Menteri Agama No. 52 Tahun 2014, Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha yang dimiliki oleh orang Islam untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.

            Zakat dikeluarkan dari harta yang dimiliki. Akan tetapi, tidak semua harta terkena kewajiban zakat. Syarat dikenakannya zakat atas harta di antaranya:

1.      harta tersebut merupakan barang halal dan diperoleh dengan cara yang halal;

2.      harta tersebut dimiliki penuh oleh pemiliknya;

3.      harta tersebut merupakan harta yang dapat berkembang;

4.      harta tersebut mencapai nishab sesuai jenis hartanya;

5.      harta tersebut melewati haul; dan

6.      pemilik harta tidak memiliki hutang jangka pendek yang harus dilunasi.

 

            Sebagai instrumen yang masuk dalam salah satu Rukun Islam, zakat tentu saja memiliki aturan mengikat dari segi ilmu fiqihnya, salah satu diantaranya adalah kepada siapa zakat diberikan.

            Dalam QS. At-Taubah ayat 60, Allah memberikan ketentuan ada delapan golongan orang yang menerima zakat yaitu sebagai berikut:

    Fakir, mereka yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup.

    Miskin, mereka yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar kehidupan.

    Amil, mereka yang mengumpulkan dan mendistribusikan zakat.

    Mualaf, mereka yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menguatkan dalam tauhid dan syariah.

    Riqab, budak atau hamba sahaya yang ingin memerdekakan dirinya.

    Gharimin, mereka yang berhutang untuk kebutuhan hidup dalam mempertahankan jiwa dan izzahnya.

    Fisabilillah, mereka yang berjuang di jalan Allah dalam bentuk kegiatan dakwah, jihad dan sebagainya.

    Ibnu Sabil, mereka yang kehabisan biaya di perjalanan dalam ketaatan kepada Allah.

 

Jenis Zakat

            Secara umum zakat terbagi menjadi dua jenis, yakni zakat fitrah dan zakat mal. Zakat Fitrah (zakat al-fitr) adalah zakat yang diwajibkan atas setiap jiwa baik lelaki dan perempuan muslim yang dilakukan pada bulan Ramadhan.

            Zakat mal adalah zakat yang dikenakan atas segala jenis harta, yang secara zat maupun substansi perolehannya, tidak bertentangan dengan ketentuan agama. Sebagai contoh, zakat mal terdiri atas uang, emas, surat berharga, penghasilan profesi, dan lain-lain, sebagaimana yang terdapat dalam UU No. 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat, Peraturan Menteri Agama No. 52 Tahun 2014 yang telah diubah dua kali dengan perubahan kedua adalah Peraturan Menteri Agama No. 31/2019, dan pendapat Syaikh Dr. Yusuf Al-Qardhawi serta para ulama lainnya.

 

Zakat mal sebagaimana dimaksud pada paragraf di atas meliputi:

1.         Zakat emas, perak, dan logam mulia lainnya

            Adalah zakat yang dikenakan atas emas, perak, dan logam lainnya yang telah         mencapai nisab dan haul.

2.         Zakat atas uang dan surat berharga lainnya

Adalah zakat yang dikenakan atas uang, harta yang disetarakan dengan      uang, dan surat berharga lainnya yang telah mencapai nisab dan haul.

3.         Zakat perniagaan

            Adalah zakat yang dikenakan atas usaha perniagaan yang telah mencapai    nisab dan haul.

4.         Zakat pertanian, perkebunan, dan kehutanan

Adalah zakat yang dikenakan atas hasil pertanian, perkebunan dan hasil      hutan pada saat panen.

5.         Zakat peternakan dan perikanan

Adalah zakat yang dikenakan atas binatang ternak dan hasil perikanan yang           telah mencapai nisab dan haul.

6.         Zakat pertambangan

Adalah zakat yang dikenakan atas hasil usaha pertambangan yang telah      mencapai nisab dan haul.

7.         Zakat perindustrian

            Adalah zakat atas usaha yang bergerak dalam bidang produksi barang dan jasa.

8.         Zakat pendapatan dan jasa

            Adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan yang diperoleh dari hasil   profesi pada saat menerima pembayaran, zakat ini dikenal juga sebagai    zakat profesi atau zakat penghasilan.

9.         Zakat rikaz

            Adalah zakat yang dikenakan atas harta temuan, dimana kadar zakatnya     adalah 20%.

 

SYARAT ZAKAT MAL DAN ZAKAT FITRAH

1.         Harta yang dikenai zakat harus memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan   syariat Islam.

2.         Syarat harta yang dikenakan zakat mal sebagai berikut:

            a. milik penuh

            b. halal            

            c. cukup nisab

            d. haul            

3.         Hanya saja, syarat haul tidak berlaku untuk zakat pertanian, perkebunan dan          kehutanan, perikanan, pendapatan dan jasa, serta zakat rikaz.

 

Sedangkan untuk syarat zakat fitrah sebagai berikut:

 

    1. beragama Islam

    2. hidup pada saat bulan ramadhan;

    3. memiliki kelebihan kebutuhan pokok untuk malam dan hari raya idul fitri;

 

(Sumber: Al Qur'an Surah Al Baqarah ayat 267, Peraturan Menteri Agama Nomor 31 Tahun 2019, Fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2003, dan pendapat Shaikh Yusuf Qardawi).[13]

 

Zakat Dan Semangat Sosial Politik

Zakat tidak saja merupakan kewajiban ritual mahdah atau mengandung nilai intrinsik, namun juga memiliki dimensi moral, sosial

dan ekonomi atau ekstrinsik.[14] Zakat adalah term fiqh yang memiliki implikasi terhadap kesejahteraan kehidupan bersama. Selain ia memiliki implikasi pada kesalehan individual, ia juga mengajarkan manusia untuk ikut memperhatikan kesejahteraan sosial.

Khamami Zada mengungkapkan bahwa zakat memiliki 2 makna, teologis-individual dan sosial. Makna pertama menyucikan harta dan jiwa. Penyucian harta dan jiwa bermakna teologis individual bagi seseorang yang menunaikan zakat bagi mereka yang berhak. Jika makna itu dipedomani, ibadah zakat hanya bersifat individual, yakni hubungan vertikal antara seseorang dengan Tuhannya. Sedangkan dimensi sosial ikut mengentaskan kemiskinan, kefakiran dan ketidakadilan ekonomi demi keadilan sosial. Dengan membayar zakat terjadi sirkulasi kekayaan di masyarakat yang tidak hanya dinikmati oleh orang kaya, tetapi juga orang miskin. Inilah yang menjadi inti ajaran zakat dalam dimensi Islam secara sosial.[15]

Yusuf Qardawi dalam karyanya yang begitu terkenal tentang zakat mengungkapkan bahwa zakat memiliki peranan yang penting dalam bermasyarakat dan bernegara, antara lain ia memiliki dimensi sosial, ekonomi, politik, moral dan sekaligus agama.[16] Kuntowijoyo berpendapat bahwa secara subyektif zakat merupakan bentuk pembersihan harta dan jiwa sebagaimana tertuang secara tekstual dalam Q.S. At-Taubah ayat 103. Namun secara obyektif, tujuan zakat pada intinya adalah untuk kesejahteraan sosial. Oleh Kuntowijoyo pertentangan dua kepentingan ini (binary opposition) menjadi salah satu karakteristik strukturalisme fundamental, di mana terjadi pertentangan antara kepentingan manusia dengan kepentingan Tuhan, orang kaya dan fakir miskin yang dapat menghasilkan equilibrium sehingga bisa berjalan beriringan.[17]

Senada dengan Kuntowijoyo, Masdar Farid Mas‟udi mengatakan bahwa zakat diperintahkan kepada umat Islam sebagai

sebuah wujud aktulisasi keislaman jati-diri manusia pada dimensi etis dan moralitasnya yang terkait pada realitas sosial sebagai khalifatullah. Ini merupakan wujud keislaman yang terkait dengan Tuhan sebagai cita pencarian sosial yang subyektif dan transendent, selain itu juga obyektif dan immanent.[18]

Dari berbagai pemaparan tentang epistemologi zakat di atas, seolah ada kesepakatan umum bahwa zakat merupakan dimensi keimanan yang urgen karena mengandung dua domain sekaligus, yaitu domain teologis dan sosiologis. Namun urgensitas zakat belum banyak dipahami oleh kalangan umat Islam, sehingga keberadaannya seolah ”terlihat tetapi tak terasa”.

Jika melihat konsep dasar zakat sebagai mekanisme redistribusi kekayaan seorang muslim adalah pengalihan aset materi yang dimiliki kalangan kaya untuk kemudian didistribusikan kepada kalangan tidak punya (fakir miskin) dan kepentingan bersama. Seharusnya pengalihan tersebut dilakukan atas dasar kesadaran sendiri sebagai sebuah wujud kesadaran sosial. Namun, karena manusia pada dasarnya memiliki nafsu akan harta (hub ad dunya), maka kehadiran lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan ”pemaksaan” pengalihan aset tersebut tidak terelakkan.[19]

Semangat awal zakat adalah menghilangkan ketimpangan sosial di masyarakat. Jika menilik sejarah Islam pada mulanya zakat dimaksudkan sebagai alat utama untuk memberantas kemiskinan dan menghapus kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Di masa Rasululullah SAW. zakat ditangani oleh institusi yang dibentuk oleh negara, dan negara pula yang mengelola serta mendistribusikan zakat tersebut. Zakat pada masa Khalifah juga menjadi alat ekonomi negara yang urgen, sehingga para Khalifah, khususnya Abu Bakar memerangi orang yang enggan untuk membayar zakat. [20]

Catatan historis ini menunjukkan bahwa semangat sosial zakat sesungguhnya juga mengandung semangat politik. Hubungan keduanya yang bersifat dialektis dan saling terkait mengindikasikan bahwa pengelolaan zakat oleh negara mutlak diperlukan sebagaimana pada masa Rasulullah dan para Khalifah. Soal mekanisme dan aturan yang diterapkan adalah soal lain yang juga harus terus dipikirkan bersama. 

 

Hubungan Zakat dengan Pemerintah

Salah satu tugas pokok Negara dalam hal ini pemerintah Republik Indonesia adalah kehidupan masyarakat tidak terkecuali dalam bidang ekonomi mulai menyiapkan lapangan kerja menata aturan ketenagakerjaan, industry, distribusi, dan seterusnya.[21] Tugas pokok ini terkait dengan kewajiban Negara dan pemerinyah untuk mensejahterakan rakyatnya. Untuk itu Negara berkewajiban mengatur lalu lintas kekayaan dalam masyarakat agar kekayaan tidak hanya dimonopoli sekelompok orang kaya sehingga orang-orang yang miskin tidak berkesempatan ikut menikmati manisnya kekayaan yang beredar dalam negaranya sendiri. Agama Islam telah mendahului itu semua bahwa perputaran dan peredaran harta dalam masyarakat dikemukakan oleh Allah Swt dalam firman-Nya (Al Hasyar ayat 7)

...كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ...

"(Demikian) agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu".

Satu diantara kebijakan ekonomi yang ditetapkan Allah untuk dijalankan oleh hambaNya dalam rangka menjamin perputaran harta kekayaan dalam Negara adalah pensyariatan zakat bagi orang tertentu yang mampu dan memenuhi syarat-syarat tertentu pula. Zakat dalam ajaran Islam merupakan upaya strategis berkesinambungan dalam rangka menjadikan orang yang tidak mampu, baik dalam bidang ekonomi maupun dalam hal berusaha, menjadi berkemampuan dan mandiri.

 

Hal ini dipertegas oleh Allah Swt dalam firman-Nya : (At-Taubah 103)

خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

“Ambillah zakat dari harta mereka (guna) menyucikan dan membersihkan mereka, dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu adalah ketenteraman bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.[22]

 

Ayat ini menunjukan bahwa Allah Swt memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk memungut zakat dari orang-orang yang mampu secara ekonomi dan telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Ketika Nabi Saw disamping berkedudukan sebagai pemimpin umat juga berkedudukan sebagai kepala pemerintahan. Dengan demikian ayat tersebut mengisyaratkan bahwa pemerinta (ulil amri) diberi wewenang untuk memungut zakat dari rakyatnya yang berkemampuan ekonomi dan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.

 

 

 

Pengelolaan Zakat Masa Nabi Muhammad Saw. Sampai Sahabat

Pada masa Nabi Muhammad, pembayaran zakat diatur dan dikelola langsung oleh Nabi, sebuah peran yang kemudian sering dipahami sebagai legitimasi negara untuk mengatur dan mengelola zakat. Peran ini murni berdasarkan peran politik yang dilakukan oleh Nabi dalam komunitas kecil muslim Madinah saat itu. Persepsi otoritas negara terhadap zakat muncul berdasar dua fakta. Pertama, Nabi Muhammad meminta para sahabatnya untuk mengumpulkan zakat. Tindakan ini dianggap sebagai legitimasi negara dalam pengumpulan zakat (sebagai amil). Kedua, Nabi Muhammad menggunakan dana zakat untuk membiayai beberapa pengeluaran negara, termasuk kampanye militer (perang). Mekanisme ini menunjukkan bahwa zakat sebagai semacam pajak agama yang merupakan hak prerogatif penguasa.[23]

Dalam hadits sahih Bukhari – Muslim dan yang lain dari Ibnu Abas bahwa Nabi Saw  ketika mengutus Mu’adz ke yaman beliau berkata :

“Beriktahukanlah kepada mereka bahwa Allah Swt telah mewajibkan dari sebagian harta-harta mereka untuk disedekahkan. Diambil dari orang kaya untuk diberikan kepada mereka yang fakir. Apabila menaatimu dalam hal ini maka peliharalah akan kedermawanan harta mereka dan takutlah akan doa orang yang teraniaya. Sungguh tidak ada penghalang antara doa mereka itu dengan Allah Swt”. (HR. Jamaah dari Ibnu Abbas)

Hadits ini menjelaskan bahwa urusan zakat itu diambil oleh petugas zakat untuk dibagikan, tidak dikerjakan sendiri oleh orang yang mengeluarkan zakat.[24]

Syaikh Islam Ibnu Hjar berkata : Hadits ini bisa menjadi alasan bahwa penguasa adalah orang yang bertugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat baik ia sendiri secara langsung maupun wakilnya. Maka barang siapa di antara mereka menolak mengeluarkan zakat hendaknya zakat itu diambil dari orang itu dengan cara dipaksa.[25] Pendapat ini dikutup oleh Imam Syaukani dengan nas-nya dalam nail al- authar.[26]

Dalam Thabaqat Ibnu sa’ad dikemukakan bahwa Nabi Saw telah mengutus petugas Zakat kepda orang Arab  pinggiran di bulan Muharram tahun kesembilan.[27]

             Ibnu Sa’ad menerangkan nama-nama petugas zakat itu dan nama-nama suku yang didatanginya,  Ibnu juga mengemukakan tentang adanya golongan lain yang diutus Nabi Saw ke darah dan suku lain di jazirah Arab.

Di antara petugas (amil zakat) yang pernah ditugaskan ole Nabi Muhammad Saw dan Khulafaurrasyidin dan beberapa suku yang didatangi diantaranya adalah sebagai berikut :[28]

Uyaynah bin Hisn ke Banu Tamim, Buraidah bin Hasib atau Kaab bin Malik dalam riwayat lain ke Banu Aslam dan Banu Ghifar, Abbad bin Bisyr Asyhali ke Banu sulaim dan Banu Muzainah, Rafi’ bin Makis ke Banu Juhainah, Amr bin Ash ke Banu Fazarah, Dhahhak bin Sufyan al-Killabi ke Banu Kilab, Busr bin Sufyan al-Ka;bi ke Banu Ka’ab, Ibnu Lutbiah al-Azdi ke Banu Zibyan, Muhajir bin abu Umayyah ke San’a, Ziad bin Labid ke Hadramaut, Adi bin Hatim ke Banu Thay dan Banu Asad, Malik bin Nuwairah ke Banu Hanzalah, Zubraqan bin Nadhir dan Qaish bin Ashim ke Banu sa’ad, Ala bin Hadrami ke Bahrain, Ali ke Najran, Sahm bin Minjab At-Tamimi dan Mutamim bin Nuwairah at-Tamimi ke Banu Tamim, Ikrimah bin Abu Jahl ke Kaum Hawazin, Walid bin Uqbah ke Banu Mustahik, Kahl bin Malik al-Huzali ke Banu Huzail, Huzaifab bin Yaman ke Banu Azdi dan Khalid bin Said ke Banu Munhij. Temasuk juga yang menjadi petugas (amil zakat) adalah Zubair bin Awwam, Kafiyah bin Sabi’I al-Asadi, Ibnu Sa’di, Abu Mas’ud, ‘adas, Qais bin sa’ad, Uqbah bin Amir, Ubadah bin Shamit, Jahm bin Salth, Abu Jahm bin Huzaifah, Imam Tabrani, Khuzaimah bin Ashim al-Ukli.

Petugas zakat (amil zakat) yang pernah ditugaskan oleh Nabi Saw bukanlah sembarang orang melainkan orang-orang terbaik dan kepercayaan dari pemimpin Negara dalam hal ini Rasulullah SAW, mereka dibekali dengan nasihat dan ajaran atau diberikan panduan dalam rangka bermuamalah dengan pemilik harta dan senantiasa berwasiat agar mereka memperlihatkan rasa sayang dan memberikan kemudahan kepada pemilik harta dengan tanpa meremehkan hak Allah. Sebagaimana pula keaadaan petugas (amil) itu sangat takut sekali dari mendapatkan harta umum tanpa hak, walaupun sedikit kadang pula di antaranya ada yan mengawasinaya.

Pada masa keempat Khulafa’ Rasyidin pada umumnya mengikuti cara Nabi Muhammad mengelola dan mengatur zakat.Pemerintah dalam proses ini dapat memerankan diri sebagaimana yang diperankan pemerintahan Khalifah Abu Bakar. Selaku kepala negara Abu Bakar melakukan paksaan terhadap mereka yang tidak mau membayar zakatnya dan terhadap mereka yang tidak mau mendistribusikan zakat yang telah terkumpul.

Ini semua menunjukan kepada kita dengan jelas, bahwa sejak zaman Nabi Saw, masalah zakat itu adalah urusan dan tugas pemerintah (ulil amri). Atas dasar ini  Rasulullah Saw memerlukan sekali untuk menugaskan petugas zakat (amil) pada setiap kaum dan suku bangsa yang telah masuk Islam, petugas itu mengambil zakat dari orang kaya dan membagikannya pada mustahiknya. Demikian pula para khalifah sesudahnya . atas dasar ini para ulama berkata : Wajib bagi Imam (pemerintah) untuk menugaskan petugas zakat yang akan mengambil sedekah, karena Nabi dan para khalifah sesudahnya, senantiasa mengutus petugas zakat ini, karena di antara manusia itu ada yang memiliki harta akan tetapi tidak mengeyahui apa yang wajib baginya, ada pula yang kikir, sehingga wajib baginya mengutus orang yang akan mengambilanya.[29]

Walhasil bahwa pengelolaan zakat adalah hak penguasa, menuntut rakyatnya untuk mengeluarkan zakat, dalam harta apa pun juga, baik harta zahir maupun harta batin dan masalah ini bersifat qoth’i atau pasti, tidak ada keraguan bahwa Imam atau penguasa apabila membiarkan urusan zakat dan tidak memintanya maka tidaklah gugur tanggung jawab dari pemilik harta, akan tetapi ia tetap berada pada pundak (tanggung jawab) mereka.[30]  

 

Model Pengelolaan Zakat Era Kontemporer

Pengelolaan zakat dalam era kontemporer menjadi eksperimen yang beragam. Dari aspek model pengelolaan zakat oleh negara terdapat dua tipe:[31] Pertama, obligatory, yakni model negara atau lembaga resmi yang ditunjuk untuk mengelola zakat dapat memaksakan pembayaran zakat kepada muzaki berdasarkan ketentuan Undang-Undang. Umumnya negara yang menerapkan sistem ini adalah negara yang menjadikan syariát Islam sebagai hukum dasar di negaranya, seperti Saudi Arabia, Libya, Pakistan, Yaman, Sudan dan Malaysia.[32] Kedua, penerapan nonobligatory, yakni model berdasarkan kesukarelaan. Negara-negara yang masuk dalam kategori ini umumnya adalah negara yang mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Islam tetapi hukum Islam tidak menjadi landasan dasar negara dan pemerintahannya, seperti Mesir, Kuwait, Banglades, Yordania, Afrika Selatan dan Indonesia.[33] Kedua sistem ini dapat dilihat dari sudut pandang filosofis, yuridis dan sosiologis.[34]    Indonesia dalam hal ini termasuk dalam kategori yang kedua, karena walaupun ada perraturan perundang-undangan tentang zakat namun isinya tidak memaksa pembayaran zakat, namun lebih pada kesukarelaan. Dari segi pengaturan zakat secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua: pertama, pengelolaan yang dipayungi oleh Undang-Undang dan ini ada dua tipe: satu, pengelolaan murni oleh pemerintah; dua, dikelola oleh lembaga yang mendapat legalitas dari pemerintah. Kedua, pengelolaan yang alami tanpa ada payung perundang-undangan yang dalam hal ini diperankan oleh lembaga-lembaga Islam maupun organisasi masyarakat Islam.[35] Indonesia dalam hal ini memilih tipe pertama, di mana lembaga pengelola zakat ada yang murni didirikan oleh pemerintah dan ada lembaga yang lahir atas prakarsa masyarakat yang kemudian disahkan oleh pemerintah.

Secara spesifik pengelolaan zakat sesungguhnya terdapat lima model, yaitu:[36] (i) sistem pengumpulan zakat secara wajib oleh negara; (ii) pengumpulan zakat secara wajib, namun dilakukan oleh masyarakat atau swasta; (iii) pengumpulan zakat secara sukarela oleh negara; (iv) pengumpulan zakat secara sukarela oleh swasta; dan (v) pengumpulan zakat secara sukarela di tingkatan individual, tanpa pengelolaan secara kolektif sama sekali.

Model sistem obligatory dalam implementasinya beragam. Cakupan harta yang wajib dibayarkan zakatnya di Yaman, mencakup zakat fitrah dan zakat mal. Di Arab Saudi, Libya, Pakistan, Yaman, dan Sudan, kewajiban zakat hanya mencakup zakat mal. Adapun di Malaysia kewajiban zakat berlaku pada zakat fitrah dan zakat mal. Peraturan mengenai harta yang terkena zakat mal juga beragam. Di Sudan dan Yaman, zakat mal dikenakan atas bentuk-bentuk harta yang termaktub dalam aturan fikih; di Arab Saudi zakat mal dikenakan atas hasil-hasil pertanian, peternakan, dan barang-barang yang dapat diperdagangkan; di Pakistan zakat mal dikenakan atas aset keuangan dan moneter serta hasil pertanian.[37]

Sementara dalam sistem non obligatory, terdapat tiga model pengelolaan zakat dalam sistem sukarela.[38] Pertama, pengelolaan zakat oleh lembaga amal swadaya masyarakat, yang banyak terdapat di berbagai negara dan komunitas muslim. Pemerintah dapat mengontrol lembaga ini sebagaimana kontrol terhadap lembaga nirlaba lainnya.

Kedua, pengelolaan zakat oleh lembaga semi pemerintah yang menghimpun zakat secara sukarela dan menyalurkan zakat tersebut kepada mereka yang berhak. Contohnya Nasser Social Bank di Mesir. Pengelolaan zakat ini, bank mendirikan departemen khusus untuk zakat. Bank menerima zakat melalui panitia zakat lokal atau pembayaran langsung ke kantor dan cabang bank.

Ketiga, pengelolaan zakat oleh lembaga pemerintah yang secara khusus didirikan oleh negara untuk menerima dan menyalurkan zakat. Beberapa negara mendirikan lembaga pengelola zakat yang secara hukum dan financial adalah independen, seperti Kuwaiti Zakat  House  (bayt  al-zakat)  tahun  1982,  Zakat  Fund  (s{unduk  al-zakat)  di Yordania (1978), Bahrayn (1979), Tunisia dan Bangladesh.

Dengan mewajibkan seluruh muslim untuk berzakat. Model ini diterapkan oleh Arab saudi, Sudan, Brunai dan Malaysia (Kedah). Kedua, institution that cooperation with goverment, (Voluntary), Pengelolaan zakat yang diakomodasi dengan regulasi negara namun tidak mewajibkan muslim untuk berzakat. Model ini diterapkan oleh Indonesia, Malaysia (kecuali Kedah), Bosnia Herzegovina, Pakistan. Ketiga, Non- Goverment Organization, pengelolaan zakat yang tidak diatur melalui regulasi negara. Model ini terdapat pada: India, Nigeria, Afrika Selatan.

Sementara, Beik[39] mengkatagorikan tiga tipologi sistem perzakatan yang ditinjau dari regulasi dan kewajiban berzakat berdasarkan hukum positif. Tiga tipologi sistem perzakatan tersebut meliputi model komprehensif, model parsial, dan model sekuler.

Pertama, model komprehensif memiliki tujuh karakteristik yang meliputi: (i) memiliki Undang-Undang zakat; (ii) zakat menjadi instrumen wajib dalam hukum positif; (iii) adanya standarisasi sistem pengelolaan zakat; (iv) terdapat ketentuan obyek zakat; (v) struktur kelembagaan; (vi) adanya integrasi zakat dan fiskal; (vii) diterapkan good amil governance. Arab Saudi dan Malaysia masuk dalam kategori ini.

Kedua, model pengelolaan zakat parsial. Model ini diterapkan oleh suatu negara yang memiliki aturan formal yang mengatur tentang perzakatan, namun belum menjadikan zakat sebagai kewajiban dalam hukum positif. Pada model ini lebih ditekankan pada aspek kelembagaan dan sistem pengelolaan zakat. Zakat masih berada pada instrumen yang bersifat kerelaan. Kerangka regulasi diatur sedemikian rupa untuk menghasilkan tata kelola zakat yang baik. Indonesia, Mesir, Kuwait termasuk dalam kategori ini.

Ketiga, model sekuler. Negara yang menerapkan model ini menganggap bahwa zakat adalah urusan pribadi masyarakat sehingga tidak ada intervensi pemerintah maupun regulasi terhadap institusi zakat. Semua urusan pengelolaan zakat diserahkan pada institusi sosial kemasyarakatan. Negara tidak ikut mengatur karena anggapan bahwa urusan agama harus dipisahkan dari urusan politik dan pemerintahan. Maroko, Turki, Oman termasuk dalam kategori ini.

Oleh karena itu, adanya amil menjadikan proses pelaksanaan zakat lebih teratur dan sistematik. Di negara minoritas muslim, berbagai badan, yayasan, atau perusahaan didirikan langsung oleh komunitas muslim untuk mengurus zakat.[40] Oleh karena amil terlibat dalam suatu bentuk pengurusan aset yang kompleks, dalam skala yang besar dan kadangkala bersifat nasional, maka amil yang tidak sesuai dianggap sebagai tugas individu secara pribadi, tetapi dalam bentuk sebuah organisasi besar yang teratur. Inilah asas adanya pembentukan istilah amil korporat.[41] Di negara sekuler pengumpulan dana sosial keagamaan dikenal dengan filantropi.

Di negara yang menganut paham sekuler, warga muslim tetap bisa menunaikan zakat sebagai ibadah sesuai dengan keyakinan agamanya. Tetapi di negara-negara sekuler karena pemerintah tidak mengurus kehidupan beragama atau tegasnya negara tidak mengatur masalah zakat dalam hukum positif, maka fungsionalisasi zakat lebih berkembang dalam ranah filantropi semata. Menurut Am. Saifuddin,[42] menyatakan begitu besar peran strategis zakat, maka sifat imperatif zakat harusnya mempunyai daya paksa yang lebih kuat dari para pengumpul zakat. Maka pelaksanaan pengumpulan zakat memerlukan aspek legal dari negara melalui regulasi zakat.

Di Amerika Serikat pengelolaan filantropi berperan cukup dominan dalam pembentukan civil society.  Mengingat orang beragama merupakan jumlah mayoritas maka pengumpulan dana filantropi sesuai dengan ajaran mereka. Dalam agama Kristen terdapat tuntunan untuk menyumbang sebesar 10 % dari pendapatan (titthe atau sepersepuluh) menjadi kewajiban agama. Ismartono, mengatakan bahwa ajaran tentang pengadilan terakhir dan orang Samaria yang murah hati sering dipakai untuk dasar aktivitas filantropi kristiani. Survei yang dilakukan di Amerika Serikat.[43]

Religius giving adalah aktivitas kedermawanan sosial yang diberikan kepada lembaga keagamaan atau dari dan oleh komunitas agama tertentu. Dalam ajaran agama kedermawanan ada yang berupa himbauan umum (seperti mengasihi dan menyantuni fakir miskin), dan ada yang berupa kegiatan khusus yang dianggap sebagai kewajiban agama [seperti zakat, titthe (Kristen), Dana (Hindu dan Budha),[44] sedekah (Yahudi)[45]]. Seorang beragama bisa melakukan religius giving dan non religius giving (secular giving).

Survei yang dilakukan oleh Independent Sector di Amerika Serikat, menyatakan bahwa religius giving jauh lebih besar daripada secular giving. Tidak hanya itu, masyarakat yang menyumbang untuk tujuan religious rupanya mereka juga menyumbang untuk hal-hal yang non religious lebih besar dari sumbangan dari kelompok sekuler.[46]

Perbandingan sumbangan dari orang agamis dan sekuler di AS lebih memperjelas peranan religious giving dalam skala nasional bisa dikatakan bahwa orang beragama yang jumlahnya 33% dari penduduk AS, berkontribusi sebesar 52 % dari sumbangan nasional. Sedangkan orang sekuler yang berjumlah 26%% dari populasi berkontribusi sebesar 13 % dari total dumbangan nasional. Adapun rata-rata sumbangan orang beragama adalah $2.210 pertahun, sedangkan rata-rata sumbangan orang sekuler adalah

$642 pertahun.[47]

 

Melihat Perkembangan Pengelolaan Zakat di Indonesia dari Masa ke Masa.

Jika menggali sejarah pengelolaan zakat di Indonesia maka akan kita temukan pola-pola yang cenderung berbeda dari masa-ke masa. Pada masa Kolonial, pengelolaan ini diserahkan pada masyarakat, negara kolonial menghindari campur tangan. Dengan berkembangnya pesantren, madrasah, dan organisasi civil society Islam, zakat dan sadaqah masyarakat berkembang dengan sendirinya. Zakat dan sadaqah memberi sumbangan besar untuk kemerdekaan Republik Indonesia pada zaman kemerdekaan, misalnya di Aceh, di Pulau Jawa, dan beberapa daerah lainnya.

Pada zaman Orde Lama, negara hanya memberikan supervise dengan mengeluarkan Surat Edaran Kementrian Agama No.A/VII/17367 tahun 1951 yang melanjutkan ketentuan ordonasi Belanda bahwa negara tidak mencampuri urusan pemungutan dan pembagian zakat, tetapi hanya melakukan pengawasan.

Baru pada masa Orde Baru, negara mulai terlibat dan ikut mengelola zakat melalui beberapa regulasi pemerintah. Pada tahun 1964 misalnya, Kementrian Agama menyususn RUU pelaksanaan zakat dan rancangan Perpu pengumpulan dan pembagian zakat dan pembentukan baitul mal. Akan tetapi, keduanya belum sempat diajukan ke DPR dan Presiden. Baru pada tahun 1967, sebagai sebuah langkah tindak lanjut Menteri Agama mengirimkan RUU pelaksanaan zakat kepada DPR-GR. Point penting dari surat pengajuan Menteri Agama pada saat itu adalah pembayaran zakat merupakan keniscayaan bagi umat Islam di Indonesia, dan negara mempunyai kewajiban moril untuk mengaturnya.[48]

Satu tahun kemudian, berdasarkan saran dan masukan dari berbagai pihak Menteri Agama menerbitkan Peraturan Menteri Agama No. 4 tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat dan Peraturan Menteri Agama No.5 tahun 1968 tentang Pembentukan Baitul Mal yang berfungsi sebagai pengumpul zakat untuk kemudian disetor kepada BAZ. Namun demikian, kedua keputusan itu segera dicabut, karena Menteri Keuangan menolak gagasan legislasi zakat yang dibuat setahun sebelumnya oleh Departemen Agama. Yang cukup mengundang tanda tanya, langkah ini diambil tanpa menghiraukan anjuran Menteri Keuangan sendiri bahwa keputusan tingkat menteri sudah cukup untuk mengatur administrasi zakat.[49]

Namun, atas seruan dan dorongan Presiden berturut-turut pada peringatan Isra‟ Mi‟raj dan Idul Fitri 1968 keluarlah Instruksi Menteri Agama No.1 tahun 1969 tentang Penundaan PMA No.4 dan 5 tahun 1968. Presiden Soeharto menegaskan bahwa zakat harus diatur secara sistematis. Dalam rangka itu, seperti dicatat Taufik Abdullah, “ia, sebagai seorang warganegara (yang beragama Islam), bersedia menggalang „upaya massif berskala nasional untuk mengumpulkan zakat‟ dan menyampaikan laporan tahunan tentang pengumpulan dan pendistribusian zakat.”[50]

Setelah penundaan tersebut, perkembangan pengelolaan zakat oleh negara mengalami stagnasi. Dan zakat yang pada dasarnya dapat menyumbang kemajuan ekonomi masyarakat berfungsi secara kultural dan terbatas. Distribusi zakat dilakukan melalui lembaga-lembaga agama seperti pesantren, panti asuhan, atau melalui amil zakat yang dibentuk oleh masyarakat secara temporer (pada zakat fitrah).

Nafas baru pengelolaan zakat baru didapatkan kembali pada era 1990-an. Negara mulai memberikan perhatian pada pengelolaan zakat melalui lembaga yang dibentuknya yaitu bazis. Pada tahun 1991, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 29 dan 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq dan shadaqah. Dan diikuti dengan Instruksi Menteri Agama Nomor 5 Tahun 1991 tentang Pembinaan Teknis Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 1998 tentang Pembinaan Umum Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah. Tentu hal ini juga dipengaruhi oleh relasi Islam dan negara yang pada saat itu sedang mulai membaik sehingga ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama ikut berperan dalam pengelolaan dan pendayagunaan zakat. Selain itu juga terdapat lembaga-lembaga zakat yang dikelola oleh masyarakat seperti LAZ (Lembaga Amil Zakat).

Titik balik terpenting dunia zakat nasional terjadi pada 1999 terbentuknya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat merupakan kontribusi utama Departemen Agama (Depag) dan kemudian diikuti FOZ dalam proses legislasi, meskipun Depag berusaha mendominasi proses legislasi. Amandemen yang dilakukan pada 2011 melahirkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang pengelolaan zakatnya di sentralisasi di tangan pemerintah, yaitu melalui BAZNAS. Perkembangannya, pengelolaan zakat bukan hanya sebatas pelaksana kewajiban keagamaan, sudah lebih kepada pemberdayaan institusi keuangan publik, sehingga zakat lebih berhasil guna, berdaya guna, dan dapat dipertanggungjawabkan secara amanah, adil, dan transparan.[51]

Kesimpulan

1.         Politik adalah cara dan upaya menangani berbagai urusan kenegaraan dengan menggunakan seperangkat peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia. Sedangkan politik Islam berarti aktivitas politik sebagian umat Islam yang menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok

2.         Pendekatan politis berarti adalah salah satu upaya memahai agama dengan cara menanamkan niai-nilai agama pada lembaga sosial agar timbul motivasi atau keinginan untuk meraih kebahagiaan dan kesejahteraan serta perdamaian pada masyarakat.

3.         Hubungan politik dan agama tidak dapat dipisahkan. Politik merupakan hasil pemikiran agama agar tercipta kehidupan yang harmonis dan tentram dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

4.         Tidak ada pengklasifikasian yang jelas tentang karakteristik pemikiran pada setiap zaman. Sejarah membuktikan bahwa Islam dapat menerima apapun sistem atau bentuk pemerintahan, selama dalam koridor Islam.

5.         Baik secara normatif (berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah) maupun secara  historis (praktik kehidupan dalam sejarah) Islam memiliki perhatian yang besar terhadap masalah politik.

6.         Zakat memiliki potensi yang sangat besar untuk kesejahteraan hidup bersama maka zakat melahirkan semangat sosial politik  selain semangat spiritual individu.

7.         Pengelolaan zakat oleh pemerintah sudah dijalankan sejak masa Rasulullah dan para sahabatnya

8.                  Zakat memiliki hubungan erat dengan pemerintahan dalam aspek pengelolaannya. Maka pada masa kontemporer  terdapat  dua  tipe model pengelolaan zakat oleh Negara yaitu obligatory dan non-obligatori.

9.                  Terdapat tiga tipologi sistem perzakatan ditinjau  dari  regulasi dan kewajiban berzakat berdasarkan hukum positif. Yaitu model komprehensif, parsial dan sekuler.

10.              Perkembangan  pengelolaan  zakat semakin baik dan meningkat. Ini terbukti kehadiran Negara melalui lembaga BANAS, hokum positif yang mengatur perzakatan  walaupun masih bersifat parsial, dan hasil penghimpunan dan pendayagunaan yang semakin

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Kuntowijoyo. 1997. Identitas Politik Umat Islam. Cetakan I. Bandung: Mizan.

 

Nata , Abudin. 2011. Metodologi Studi Islam. Edisi Revisi Cetakan ke 18. Jakarta: Rajawali.

 

………. 2011. Studi Islam Komprehensif. Edisi I Cetakan I. Jakarta: Kencana.

 

Syafiie, Inu Kencana. 2009. Pengantar Ilmu Politik. Cetakan I. Bandung: Pustaka Reka Cipta.

 

Fatahullah Jurdi,Fatahullah. 2016. Politik Islam : Pengantar Pemikran Politik Islam. Yogyakarta : Calpulis.

 

https://kbbi.web.id/politik

 

Situmorang, Jubair. 2014 model pemikran dan penelitian politik islam, Jakarta : pustaka setia.

 

Chuzaimah Batubara,  Iwan, M.H.I, Hawari Batubara, Handbook Metodologi Studi Islam.

 

https://baznas.go.id/zakat

 

Manan, Abdul. Teori dan Praktik Hukum Islam.Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa.

 

Qardawi,Yusuf.1993.  Hukum Zakat. Bogor : Pustaka Litera Antanusa.

 

Kuntowijoyo. 1997. Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi.Bandung: Mizan.

 

Mas’udi,Masdar Farid.1991. Agama Keadilan Risalah Zakat (Pajak) Dalam Islam .Jakarta: Pustaka Firdaus.

 

Madjid, Nurcholis dkk.1995. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah.Jakarta :Paramadina.

 

Assyaukanie,Luthfi.  1998. Politik, HAM, dan Isu-Isu Teknologi dalam Fiqh Kontemporer.      Bandung,:Pustaka hidayah.

 

Direktorat pemberdayaan zakat Bimas Islam Departemen Agama RI2009. fiqh Zakat. Jakarta.

https://quran.kemenag.go.id/quran/per-ayat/surah/9?from=103&to=129

 

Fauzia, Amelia. 2016. Filantropi Islam “Sejarah dan Kontestasi Masyarakat Sipil dan Negara di Indonesia”, Gading Publishing: Yogyakarta.

 

Asy-Syaukani ,Al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad. Nail al-Authar, jilid 4, cet.kedua.

 An-Nawawi, Ar-Raudhah at-Thalibin, jilid 2

Kahf, Monzer.1995. “Applied Institutional Model for Zakah Collection and Distribution in Islamic Coutries and Communities”. Dalam Ahmed Abdel Fattah el-Ashker and M. Sirajul Haq (Eds), Intitutional Framework of Zakah: Dimension and Aplications. Jeddah: IRTI-IDB.

 

Salama, Abidin Ahmad.1990. Obligatory vs Nonobligatory Zakah System, Institusional      Framework of Zakah: Dimension and Applications .Jeddah: Islamic Research and Training Institute of Islamic Development Bank.

 

Isvadiary¸Rika. 2010. “Penerapan Obligatory System Dalam Pengelolaan Zakat Di Indonesia”, Jurnal Syari‘ah LKIHI, Edisi II (Depok: LKIHI-FHUI,

 

Qoh,Mundhir . 1983.  Tahsil wa Tawzi’ al Zakah Tajrubah al Mamlakah al Arabiyah al Su’udiyah dalamal mawad al ilmiyah lil Barnamij al Tadrib al Tatbiq al zakah fi Muktama al Islam al Mu’asir. Jeddah: al Bank al Islami al Tanmiyah.

 

I.a Imtiazi .et al. (eds).1989. Management of Zakah in Modern Muslim Society (Jeddah: IRTI-IDB..

 

Sadeq, Abu al-Hasan. “A Survey of the Intitutional Of Zakah: Issues, Theories and Administration” .Jeddah: IRTI-IDB.

 

Wibisono, Yusuf Wibisono.2011.Mengelola Zakat Indonesia Diskusi Pengelolaan Zakat Nasional Dari Rezim Undang- Undang Nomor 38 Tahun 1999 ke Rezim Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 .Jakarta: Kharisma Putra Utama.

 

BAZNAS, Arsitektur Zakat Indonesia. 2017.Jakarta: Pusat Kajian Strategis BAZNAS.

 

Tarimin, Mujani. 2005.Tanggungjawab Amil dalam Konteks Kontemporari, Kertas Kerja 10, Zakat Menuju Pengurusan Profesional .Kualalumpur: Utusan Publications & Distributor.

 

Hasan Bahrom & EzaniYaaqub, Pengurusan Zakat Semasa. 2006.Shah Alam: Pusat Penerbitan Universuti (UPENA) UiTM.

 

AM Saefuddin, Membumikan Ekonomi Islam. 2011.(Jakarta: PT. PPA Consultants.

 

Ismartono.2003.“Filantropi dalam Dunai Kristen” dalam Idris Thaha, (ed.) Berderma Untuk Semua, Praktik dan Wacana Filantropi Islam .Jakarta: Teraju.

 

Mark Juegensmeyer dan Darrin McMahon, Philantropy in the World’s Traditions .Bloomington: Indoana University Press.

 

F. Landesman.1956. Jewish Social Work Today Religion and Social Work .New York: The Institut for Religious and Social Studies.

 

Effendy,Bahtiar. 1998. Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia .Jakarta: Paramadina.

 

Yulianti, Rahmani Timorita. 2015. Good Corporate Governance di Lembaga Zakat, Yogyakarta: Kaukaba Dipantara.



1 Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif, edisi I cet I, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 448.

[2] Fatahullah Jurdi, Politik Islam : Pengantar Pemikran Politik Islam, (Yogyakarta, Calpulis, 2016), hal. 15

[4] Jubair Situmorang, model pemikran dan penelitian politik islam, ( pustaka setia, 2014), hal. 12

5 Inu Kencana Syafiie, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2009), cet. I, hlm.57.

6 Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), cet. ke 18, hlm 316–317.

[7] 23 Ahmad Sukarja, “Fikih Siyasah” dalam Taufik Abdullah (eds.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Ajaran, II, h. 193.

[8].  Chuzaimah Batubara,  Iwan, M.H.I, Hawari Batubara, Handbook Metodologi Studi Islam…, 179

7 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan,1997), Cet I, hlm. 27.

8 Abudin Nata, Metodologi Studi Islam..., op.cit., hlm. 319.

9 Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif…, op.cit., hlm. 455-456.

10 Inu Kencana Syafiie, op. Cit., hlm. 98.

[13].  https://baznas.go.id/zakat

[14]. Abdul Manan, Teori dan Praktik Hukum Islam, (Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, tt) hlm 256

[15]. Sebagaimana dikutip oleh Strategi Pengelolaan Zakat dalam Mengurangi Kemiskinan, dalam M. Arifin Purwakanta, Noor Aflah (ed), Southeast Asia ..., hlm 156.

[16].  Yusuf Qardawi, Hukum Zakat (Bogor : Pustaka Litera Antanusa,1993), h. 3-6

[17]. Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi (Bandung, Mizan,1997), hlm 248.

[18]. Masdar Farid Mas‟udi, Agama Keadilan Risalah Zakat (Pajak) Dalam Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), hlm 34

[19] Nurcholis Madjid dkk, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah ( Jakarta: Paramadina, 1995), hlm 435

[20] Luthfi Assyaukanie, Politik, HAM, dan Isu-Isu Teknologi dalam Fiqh Kontemporer (Bandung, Pustaka hidayah, 1998, hlm 61.

[21]. Direktorat pemberdayaan zakat, Bimas Islam Departemen Agama RI, fiqh Zakat, 2009, hal.99

[22] https://quran.kemenag.go.id/quran/per-ayat/surah/9?from=103&to=129

[23] . Amelia Fauzia, Filantropi Islam “Sejarah dan Kontestasi Masyarakat Sipil dan Negara di Indonesia”, Gading Publishing, Yogyakarta, 2016, hlm. 49.

[24].  Yusuf al-qardhawi, Hukum Zakat, hal.735.

[25]. Ibnu Hajar, Fathul Bari, jilid 3, hal.23

[26]. Al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Nail al-Authar, jilid 4, cet.kedua hal 124

[27]. Yusuf al-qardhawi, Hukum Zakat, hal.736.

[28]. Yusuf al-qardhawi, Hukum Zakat, hal.736-738

[29]. Al-Imam an-Nawawi, Ar-Raudhah at-Thalibin, jilid 2 hal.210, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzzab, jilid 6 hal 167.

[30]. Yusuf al-Qardhawi, Hukum Zakat, hal.752-753.

[31]. Monzer Kahf, “Applied Institutional Model for Zakah Collection and Distribution in Islamic Coutries and Communities”. Dalam Ahmed Abdel Fattah el-Ashker and M. Sirajul Haq (Eds), Intitutional Framework of Zakah: Dimension and Aplications (Jeddah: IRTI-IDB, 1995), 197-228.

[32]. Lihat, Abidin Ahmad Salama, Obligatory vs Nonobligatory Zakah System, Institusional Framework of Zakah: Dimension and Applications (Jeddah: Islamic Research and Training Institute of Islamic Development Bank, 1990), 151.

[33]. Ibid

[34]. Rika Isvadiary¸ “Penerapan Obligatory System Dalam Pengelolaan Zakat Di Indonesia”, Jurnal Syari‘ah LKIHI, Edisi II (Depok: LKIHI-FHUI, 2010) 61-66.

[35]. Mundhir Qoh}, Tahsil wa Tawzi’ al Zakah Tajrubah al Mamlakah al Arabiyah al Su’udiyah dalamal mawad al ilmiyah lil Barnamij al Tadrib al Tatbiq al zakah fi Muktama al Islam al Mu’asir (Jeddah: al Bank al Islami al Tanmiyah, 1983), 338.

[36]. I.a Imtiazi .et al. (eds), Management of Zakah in Modern Muslim Society (Jeddah: IRTI-IDB, 1989), dan Ahmed Abdel Fattah el-Ashker and M. Sirajul Haq (Eds), Intitutional Framework of Zakah: Dimension and Aplications (Jeddah: IRTI-IDB, 1995).

[37]. Abu al-Hasan Sadeq, “A Survey of the Intitutional Of Zakah: Issues, Theories and Administration” (Jeddah: IRTI-IDB, 1994) 45

[38].Yusuf Wibisono, Mengelola Zakat Indonesia Diskusi Pengelolaan Zakat Nasional Dari Rezim Undang- Undang Nomor 38 Tahun 1999 ke Rezim Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 (Jakarta: Kharisma Putra

Utama, 2015) 151.

[39]. BAZNAS, Arsitektur Zakat Indonesia (Jakarta: Pusat Kajian Strategis BAZNAS, 2017) 13.

[40]. Mujani Tarimin, Tanggungjawab Amil dalam Konteks Kontemporari, Kertas Kerja 10, Zakat Menuju Pengurusan Profesional (Kualalumpur: Utusan Publications & Distributor, 2005) 135

[41]. Hasan Bahrom & EzaniYaaqub, Pengurusan Zakat Semasa (Shah Alam: Pusat Penerbitan Universuti (UPENA) UiTM, 2006) 46-47.

[42]. AM Saefuddin, Membumikan Ekonomi Islam (Jakarta: PT. PPA Consultants, 2011) 109.

[43]. Ismartono, “Filantropi dalam Dunai Kristen” dalam Idris Thaha, (ed.) Berderma Untuk Semua, Praktik dan Wacana Filantropi Islam (Jakarta: Teraju 2003) 81-90.

[44].Mark Juegensmeyer dan Darrin McMahon, Philantropy in the World’s Traditions (Bloomington: Indoana University Press, 1998) 263-178.

[45]. 24Alter F. Landesman, Jewish Social Work Today Religion and Social Work (New York: The Institut for Religious and Social Studies, 1956) 51.

[46]. Independent Sector, Giving and Volunteering un the United States (Washington D.C.: Independent Sector, 2001).

[47] Amelia Fauzia, “Religius Giving di Indonesia: Studi Kasus Filantropi Islam”, Dialog Jurnal Penelitan dan Kajian Keagamaaan, No. 69, 2010, 53-64.

[48]. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 298.

[49] . Ibid

[50]. Ibid

[51]. Rahmani Timorita Yulianti, Good Corporate Governance di Lembaga Zakat, Kaukaba Dipantara, Yogyakarta, 2015, hlm. 50.

Tidak ada komentar

PENDEKATAN POLITIK DALAM KAJIAN ISLAM (STUDI TENTANG ZAKAT)

  PENDEKATAN POLITIK DALAM KAJIAN ISLAM (STUDI TENTANG ZAKAT)   Muhamad Agus Soleh Mahasiswa Universitas PTIQ Jakarta agussoleh1...

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.