Header Ads

Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia dalam Perspektif Madzhab Fikih

 


Oleh : Muhamad Agus Soleh

 

Pendahuluan


Hukum merupakan salah satu perangkat yang memiliki peran yang sangat penting, guna menciptakan suatu negara yang aman dan terkontrol, sebagai negara hukum, Indonesia memiliki hukum yang beraneka ragam mulaidari hukum yang tidak tertulis atau dikenal dengan hukum adat mupun hukum yang tertulis atau yang biasa disebut dengan Undang-undang.

Implementasi hukum Islam bagi umat Islam kadang-kadang menimbulkan pemahaman yang berbeda. Hukum Islam yang diterapkan di Pengadilan Agama “cenderung simpang siur disebabkan oleh perbedaan pendapat para ulama dalam hampir setiap persoalan”. Di samping itu kadang-kadang masih adanya kerancuan dalam memahami fiqh, yang dipandang sebagai hukum yang harus diberlakukan, bukan sebagai pendapat (doktrin, fatwa) ulama yang dijadikan bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum.

Pada saat itulah dirasakan adanya keseragaman pemahaman dan kejelasan bagi kesatuan hukum Islam yang akan dan harus dijadikan pegangan oleh para hakim di lingkungan Peradilan Agama. Keinginan untuk menyeragamkan hukum Islam itu menimbulkan gagasan sampai terwujudnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia. Oleh karena itu untuk untuk dapat berlakunya (hukum) Islam di Indonesia harus ada antara lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan baik oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat.

Diantara beberapa hukum perundang-undangan, fokus bahasannya juga diarahkan kepada UU No.1 Tahun 1974, karena hukum materiil perkawinan keseluruhannya terdapat dalam UU ini. UU perkawinan dalam bahasan ini aturan atau ketentuan yang secara efektif telah dijadikan oleh hakim di Pengadilan Agama sebagai pedoman yang harus diikuti dalam penyelesaian perkara perkawinan, yaitu Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang penyebarluasannya dilakukan melalui Instruksi Presiden RI No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

 

Kompilasi Hukum Islam dalam Perspektif Madzhab Fikih

Kompilasi        diambil            dari      bahasa Inggris compilation dan Compilatie dalam     bahasa Belanda            yang    diambil            dari      kata compilare yang artinya mengumpulkan bersama-sama, seperti misalnya mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar berserakan dimana-mana. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kompilasi adalah kumpulan yang tersusun secara teratur (tentang daftar informasi, karangan dan sebagainya).

KHI adalah kumpulan atau himpunan kaidah-kaidah hukum Islam yang disusun secara sistematis. Isi KHI terdiri atas tiga buku, setiap buku dibagi beberapa bab dan pasal, dengan sistematika berikut :

1.                  Buku I Hukum Perkawinan terdiri dari 19 bab dengan 170 pasal.

2.                  Buku II Hukum Kewarisan terdiri dari 6 bab dengan 44 pasal (dari pasal 171 sampai dengan pasal 214).

3.                  Buku III Hukum Perwakafan, terdiri dari 5 bab dengan 14 pasal (dari pasal 215 sampai dengan pasal 228).

Sehingga dapat disimpulkan, bahwa KHI adalah kumpulan atau himpunan kaidah-kaidah hukum Islam yang disusun secara sistematis yang terdiri dari tiga buku.

Munculnya KHI di Indonesia sebagai hasil dari pemikiran dan kesepakatan ulama dalam menerimanya dalam majelis lokakarya, merupakan langkah baru dalam pemikiran hukum Islam. Kalau penerimaan UU Perkawinan dapat diartikan penerimaan materi meskipun diantaranya berbeda dengan materi yang terdapat dalam kitab fiqih, maka KHI tersebut berbentuk fiqih baru dalam perkawinan, kewarisan dan perwakafan dalam format perundangan (qanun) yang materinya berbeda dengan fiqih Syafi‟iyah yang selama ini dijalankan di Indonesia.

 

Sebagaimana kita ketahui bahwa tujuan penyusunan KHI adalah untuk membenahi dan menyempurnakan kekurangan yang dialami oleh lingkungan Peradilan Agama. Tentang hal ini ada yang berpandangan bahwa sebaiknya ditempuh dengan jalur formal perundang-undangan yang sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 20 UUD 1945. Dengan jalan ini maka yang akan dihasilkan adalah Undang-Undang Hukum Perdata Islam sehingga keabsahannya benar-benar bersifat legalistik. Akan tetapi untuk menempuh jalan ini dapat dibayangkan betapa banyak proses yang harus dilalui. Berbagai tahapan harus dinaiki, mulai dari penyusunan rancangan UU sampai pembahasan DPR. Belum lagi faktor-faktor non-teknis, seperti iklim politik dan psikologis. Satu segi, secara konstitusional kehadiran dan keberadaan PA telah diakui semua pihak. Namun di segi lain, barangkali belum terpupus sikap alergi dan emosional yang sangat reaktif terhadap keharusan adanya kitab hukum perdata Islam.

Pengukuhan formal dari semula telah direkayasa dengan bentuk Penetapan Presiden atau Instruksi Presiden dan memang terkabul dengan lahirnya Inpres No. 1 tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991 dan pernyataan berlakunya dalam Keputusan Menteri Agama No. 154 tahun 1991, tanggal 22 Juli 1991.

Kebekuan perkembangan hukum Islam dari pertengahan abad IV H – XII H menimbulkan”kegelisahan intelektual‟ sekaligus memancarkan semangat ijtihad di kalangan kaum Muslim. Dalam semangat ijtihad inilah, Indonesia berhasil menyusun KHI, yang tema utamanya adalah menjadikan hukum Islam sebagai hokum positif di Indonesia. Kitab-kitab yang digunakan dalam merumuskan KHI tersebut berjumlah 38 kitab. Dari hasil penelusuran terhadap kitab-kitab yang digunakan tersebut dapat diketahui bahwa kebanyakan adalah kitab-kitab fiqh madzhab Syafi‟i. Sedangkan sebagian lainnya merupakan kitab-kitab fiqh madzhab Hanafi, Maliki, Hanbali, Dzahiri, dan Syi‟ah. Di samping itu, juga terdapat kitab-kitab perbandingan dan tanpa madzhab. Penggunaan kitab-kitab dari berbagai madzhab tersebut dapat dipahami sebagai keinginan untuk mempercepat proses taqrib bayn al-ummah sehingga pertentangan antar madzhab dapat dihindari dan diarahkan kepada perpaduan dan kesatuan kaidah dan nilai.

Secara bahasa madzhab berasal dari bahasa arab yang berarti pendapat, ideology, doktrin, ajaran, aliran. M. Ali Hasan menjelaskan, bahwa pengertian bermadzhab adalah mengikuti hasil ijtihad seorang imam tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istimbathnya.

KHI adalah fiqh Indonesia yang disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia. Ia bukan merupakan madzhab baru, tapi ia mengarah kepada menyatukan (unifikasi) berbagai pendapat madzhab dalam hukum Islam, dalam rangka upaya menyatukan persepsi para hakim tentang hukum Islam, menuju kepastian hukum bagi umat Islam.

Salah satu sumber perumusan KHI ialah kitab-kitab fiqh dari berbagai madzhab, meskipun yang terbanyak adalah dari madzhab Syafi‟i. Dari daftar kitab fiqh yang ditelaah untuk perumusan KHI itu kelihatannya kitab-kitab tersebut berasal dari mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali, dan Zhahiri. Memang pernah digunakan kitab fiqh dari madzhab Syi’ah Imamiyah dalam telaah kitab itu, yaitu al-Mabsuth fi fiqh al-Imamiyah, karya al-Thusiy, namun dalam daftar kitab yang dibaca tidak ada kelihatan kitab fiqh yang berasal dari madzhab Syi’ah Imamiyah tersebut.

Pasal-pasal KHI di luar dari apa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut merupakan pelengkap yang hampir keseluruhannya diambil dari fiqh munakahat, terutama menurut madzhab Syafi’i. Diantara ketentuan fiqh munakahat yang diambil KHI ada yang kebetulan sejalan dengan hukum adat adalah kawin hamil. Dikatakan hukum adat yang sejalan dengan fiqh munakahat, karena dalam kenyataan yang berlaku hampir dalam semua lingkaran hukum adat ada kebiasaan mencarikan suami untuk anak gadisnya yang hamil di luar nikah. Kebetulan yang demikian itu diakui kebenarannya dalam fiqh munakahat menurut madzhab Hanafi dan madzhab Syafi‟i. Oleh karena itu masuklah dia kedalam KHI, meskipun ada keberatan di sebagian pihak. Namun fiqh munakahat yang merupakan bagian dari KHI tidak seluruhnya sama dengan fiqh munakahat yang terdapat dalam madzhab yang dianut selama ini yaitu madzhab Syafi’i, karena fiqh munakahat dalam KHI sudah terbuka terhadap madzhab lain di luar Syafi’i. Meskipun demikian, dalam hal-hal yang bersifat prinsip tidak terdapat perbedaan yang berarti.

 

Kesimpulan

Kelahiran Kompilasi Hukum Islam bisa menjawab kebutuhan Peradilan Agama akan kepastian hukum. Fiqih yang sebelumnya tidak positif, telah ditransformasikan menjadi hukum positif yang berlaku dan mengikat seluruh umat Islam di Indonesia. Lebih penting dari itu, KHI diharapkan akan lebih mudah diterima oleh masyarakat Islam Indonesia karena ia digali dari tradisi-tradisi bangsa. Jadi tidak akan muncul hambatan psikologis di kalangan umat Islam yang ingin melaksnakan hukum Islam. Namun demikian, KHI bukan berarti hukum final, namun lebih dari itu masih memerlukan pembaharuan-pembaharuan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat Indonesia.

KHI adalah fiqh Indonesia yang disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia. Ia bukan merupakan madzhab baru, tapi ia mengarah kepada menyatukan (unifikasi) berbagai pendapat madzhab dalam hukum Islam, dalam rangka upaya menyatukan persepsi para hakim tentang hukum Islam, menuju kepastian hukum bagi umat Islam.Dan KHI juga mempermudah masyarakat dalam merujuk ketentuan hukum yang sudah pasti sah secara agama sekaligus diakui Negara, sehingga lebih efektif tanpa harus mempelajari berbagai pendapat fikih di berbagai madzhab dan menentramkan tanpa keraguan dan kekhawatiran di dalam hati.


Tidak ada komentar

PENDEKATAN POLITIK DALAM KAJIAN ISLAM (STUDI TENTANG ZAKAT)

  PENDEKATAN POLITIK DALAM KAJIAN ISLAM (STUDI TENTANG ZAKAT)   Muhamad Agus Soleh Mahasiswa Universitas PTIQ Jakarta agussoleh1...

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.