Header Ads

Sejarah Perkembangan Teologi Salafi dan Manhajnya

Salafi sebagai Gerakan Puritan

Salafi muncul disebabkan semangat kembali kepada kejayaan masa lalu, terutama tiga abad di permulaan Islam. Tiga abad ini biasa disebut dengan al-salaf al-salih, terutama jika mereka dianggap sebagai imam panutan. Lebih dari itu, Abdullah ibn ‘Abd al-Hamid al-Athari, tokoh salafi Saudi Arabia, menambahkan bahwa penyebutan salaf mengindikasikan kepada zaman sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabiin. Mereka diyakini sebagai imam, pengikut sunnah, serta menjauhi bid’ah. Oleh karena itu ‘Abbdullah ibn Abd al-Hamid al-Athari menyebut mereka dengan al-salaf al-salih[1].

Penyebutan ini diinspirasi oleh sebuah teks Hadis yang menyebutkan, “Sebaik-baik umatku adalah yang hidup semasa dengan abadku, lalu abad setelahku, dan abad setelahnya”.[2] Legitimasi dalam teks ini membuat semua kelompok dalam Islam mengklaim mengikuti al-salaf al-ṣāliḥ, terutama kelompok Salafi. Semangat untuk mengikuti “generasi emas” itulah yang secara otomatis melahirkan sikap-sikap religius yang khas. Semua aspek keagamaan yang dimulai dari teologi, fiqh, kaidah berpikir, berpakaian, dan atribut-atribut keseharian pun diharuskan mengikuti apa yang disebut dengan manhaj al-salaf. Tidak jarang pembacaan teks yang dilakukan akhirnya mengabaikan konteks yang melatarbelakangi kemunculan teks tersebut.

 

Awal Kemunculan Paham Teologi Salafi

teologi Salafi dimulai pada masa Dinasti Abbāsīyah di Baghdad. Pada saat itu, banyak ahli Hadis menjadi korban kebijakan pemerintah yang mencoba menerapkan ajaran Mu‘tazilah sebagai teologi resmi. Beberapa isu dijadikan alat untuk mengeksekusi tokoh- tokoh yang dianggap menyimpang secara teologis oleh Mu‘tazilah. Dalam hal ini, Aḥmad Ibn Ḥanbal dan ahli Hadis lainnya menjadi korban dari ketidaksepakatan mereka dengan teologi “resmi” pemerintah. Perseteruan dan pengorbanan Aḥmad Ibn Ḥanbal dalam menghadapi ini menjadi inspirasi sikap teologis bagi sebagian ahli Hadis.

Ketokohan Aḥmad Ibn Ḥanbal (w. 241 H/856 M) sebagai imam ahli Hadis menjadikannya tokoh sentral dalam teologi Salafi pra Ibn Taymīyah. Keteguhan Aḥmad Ibn Ḥanbal menghadapi isu teologis yang dipolitisasi oleh pemerintah saat itu menjadi sejarah penting dalam perkembangan aliran teologi. Pemerintahan ‘Abbāsīyah saat itu berada di puncak kemajuan rasionalitasnya dalam teologi. Ini terlihat dari forum-forum teologis rasionalis dan aṣḥāb al-ra’y berkembang pesat di Iraq. Aliran teologi Mu‘tazilah mempengaruhi banyak pejabat, hakim, bahkan khalifah sehingga menjadi teologi resmi. Kemajuan intelektual di Baghdad pada abad kedua Hijriah ditandai dengan sikap Khalifah Abū Ja‘far al-Manṣūr (136-158 H/754-775 M) yang menginisiasi gerakan penerjemahan filsafat Yunani. Setelah itu, kemajuan tersebut memuncak dengan keberadaan Bayt al-Ḥikmah yang menjadi sangat pesat di masa kekhalifahan al-Ma’mūn (198-218 H/814-833 M). Bayt al-Ḥikmah dikembangkan menjadi pintu masuk ilmu pengetahuan dari luar, tanpa terkecuali filsafat Yunani, India dan lainnya. Banyak ilmuan yang dilibatkan untuk menerjemahkan karya- karya asing lalu dikembangkan dalam bentuk penelitian[3]

Aḥmad Ibn Ḥanbal tumbuh dan berkembang di tengah kemajuan ilmu pengetahuan tersebut. Akan tetapi, Aḥmad Ibn Ḥanbal bukanlah peminat filsafat dan ilmu kalam karena identik dengan Mu‘tazilah dan Jahmīyah. Ia adalah pencari Hadis dan penghafalnya. Sebagai penghafal Hadis, Aḥmad Ibn Ḥanbal sangat menolak rasionalisasi yang dilakukan Mu‘tazilah, terutama dalam masalah teologi dan hukum.

apabila dilihat dari perkembangan filsafat dan teologi, maka Baghdad tidak hanya menjadi gudang ahli Hadis dan fiqh Sunni. Ahli filsafat dan teolog juga menjamur terutama setelah al-Ma’mūn menjadi khalifah. al-Ma’mūn adalah khalifah yang paling disenangi bagi para filosof dan teolog, terutama Mu‘tazilah dan Shī‘ah. Pada saat yang sama, al-Ma’mūn adalah tokoh yang paling tidak disukai oleh ahli Hadis. Pada tahun 201 H ia mulai menunjukkan kecenderungannya kepada Shī‘ah dengan mengangkat ‘Alī al- Riḍá sebagai walī al-‘ahd (seperti Putra Mahkota). Sepuluh tahun setelahnya, yaitu 211 H al-Ma’mūn mengeluarkan perintah untuk tidak melindungi siapa pun yang menyebut kebaikan Mu‘āwiyah Ibn Abū Sufyān serta tidak meyakini kemuliaan ‘Alī Ibn Abū Ṭālib setelah Nabi Saw. Pada tahun 211 H al-Ma’mūn menerima doktrin Mu‘tazilah mengenai al-Qur’an sebagai makhluk sebagai teologi resmi negara. Keputusan ini menyebabkan kerisuhan di kalangan ahli Hadis di Baghdad. Pada tahun 215 H ia menaklukkan wilayah Romawi Timur, lalu membawa kitab-kitab filsafat yang tersimpan di pulau Qubrus.[4]

Puncak dari kecenderungan al-Ma’mūn kepada teologi Mu‘tazilah adalah pada tahun 218 H dengan mengadakan pengadilan terbuka terhadap siapa pun yang menolak doktrin khalqīyat al-Qur’ān. Penolak doktrin ini dinyatakan sesat dan tidak diterima persaksiannya. Mereka yang tidak menerima doktrin Mu‘tazilah akan dihukum atau dilarang berfatwa dan mengajar Hadis. Di antara mereka yang paling keras menolak adalah dua tokoh, yaitu Aḥmad Ibn Ḥanbal dan Bishr Ibn al-Walīd al-Kindī, sehingga mereka dilarang berfatwa dan meriwayatkan Hadis.13

Hukuman ini berlanjut dengan hukuman lebih berat pada masa Khalifah al-Mu‘taṣim (219-228 H) dan al-Wāthiq (228-232 H). Penderitaan Aḥmad Ibn Ḥanbal karena menolak doktrin tersebut baru berakhir pada masa kekhalifahan al-Mutawakkil (232-247 H), atau selama empat belas tahun. Masa pemerintahan al-Mutawakkil merupakan puncak kemajuan ilmu Hadis dan kebebasan tokoh- tokohnya. Pada masa inilah, Aḥmad Ibn Ḥanbal mendapatkan banyak simpatisan dan pengikut setia yang nanti akan disebut sebagai Madrasah Aḥmad Ibn Ḥanbal.

 

Madrasah Aḥmad Ibn Ḥanbal

Ungkapan “Madrasah” pada bagian ini bukanlah madrasah yang dipahami secara umum. Tetapi ungkapan ini lebih berkonotasi kepada sebuah ajaran, aliran atau mazhab pemikiran. Dalam konteks ini, originalitas Madrasah Aḥmad Ibn Ḥanbal (164-241 H/781-856 M)

selalu diperebutkan dalam sejarah teologi Islam. Ini dilatarbelakangi oleh sosok Aḥmad Ibn Ḥanbal sebagai seorang yang ahli Hadis, teolog, dan sekaligus mujtahid dalam fiqh.

 

 

 

Antipati Aḥmad Ibn Ḥanbal terhadap Rasionalis

Sikap antipati terhadap kelompok rasionalis yang dimaksud di sini adalah aṣḥāb al-ra’y. Paradigma yang dibangun di kalangan ahli Hadis di Iraq saat itu adalah penentangan terhadap aṣḥāb al-ra’y, karena dianggap mengingkari Sunnah dan mendahulukan qiyās. Term aṣḥāb al-ra’y biasa digunakan dalam tradisi ahli metodologi hukum Islam (uṣūl al-fiqh). Namun, pengistilahan ini pada abad kedua dan ketiga Hijriah tidaklah terbatas dalam masalah metodologi hukum, bahkan juga berkaitan dengan persoalan teologis dan transmisi Hadis.

 

Awal Kejayaan Madrasah Aḥmad Ibn Ḥanbal

Pengaruh ajaran Aḥmad Ibn Ḥanbal sangat kuat terhadap kebijakan-kebijakan Khalifah al-Mutawakkil. Pada masa inilah teologi puritan langsung mendapatkan posisi penting dan berpengaruh ke dalam ranah hukum. Ini terlihat dari perintah al-Mutawakkil pada tahun 236 H untuk menghancurkan bangunan di atas kuburan al- Ḥusayn Ibn ‘Alī Ibn Abū Ṭālib. Tidak hanya itu, ia juga memerintahkan agar rumah-rumah di sekitarnya dihancurkan, lalu dijadikan kebun. Peziarah dilarang mengunjunginya dengan penjagaan ketat shurṭah (sejenis polisi).[5] Besar kemungkinan keberadaan shurṭah ini menginspirasi pembentukan shurṭah shar‘īyah di negara-negara yang cenderung puritan pada masa kontemporer.

Penyebaran Salafi Pasca Ahmad Ibn Hanbal

Madrasah Aḥmad Ibn Ḥanbal sebagaimana dikemukakan sebelumnya mengalami perkembangan yang maju dan luas ke seluruh pelosok Baghdad, bahkan menyebar ke wilayah lain seperti Khurasan. Pada bagian ini, genealogi penerus Madrasah Aḥmad Ibn Ḥanbal tersebut akan ditelusuri dan diungkapkan jaringan keguruan dan teologi mereka. Ini sangat membantu pemetaan teologi Salafi pra Ibn Taymīyah. Semua sikap dan ajaran teologis yang berkembang di masa- masa tersebut menjadi penentu kecenderungan Ibn Taymīyah dalam banyak hal.

Pada masa tersebut, beberapa di antara mereka ada yang sangat kontroversial, bahkan dalam internal dirinya sendiri. Di satu sisi mereka adalah teolog Salafi, dan di sisi lain cenderung kepada sufi. Namun kebanyakan mereka adalah para ahli Hadis dan secara fiqh cenderung kepada Aḥmad Ibn Ḥanbal. Hanya sedikit di antara mereka yang bermazhab fiqh Muḥammad Ibn Idrīs al-Shāfi‘ī. Akan tetapi kecenderungan bermazhab ini pun mulai terkikis di masa kontemporer, di samping masih ada yang tetap menghargainya. Ini terlihat dari sikap penolakan terhadap mazhab dan taqlīd yang meluas hampir di semua pengikut ajaran Salafi. Terlepas dari itu, mereka secara teologi tetap mempunyai kecenderungan yang sama.

Genealogi tersebut akan dipetakan berdasarkan geografi dan zaman. Berdasarkan pemetaan tersebut, genealogi Madrasah Aḥmad Ibn Ḥanbal akan dikemukakan menjadi empat macam, yaitu genealogi Baghdad sebagai masa kodifikasi, genealogi Khurasan sebagai masa polemik dan pengembangan rasionalisasi argumen teologis, genealogi Damaskus sebagai inovasi dan pembakuan teologi, dan genealogi Saudi Arabia sebagai penyatuan teologi dan kekuasaan. Dalam konteks ini, genealogi Baghdad dan Khurasan terjadi dalam waktu yang bersamaan, sedangkan dua genealogi terakhir berkembang setelahnya secara berurutan. Genealogi Baghdad dimulai dengan Abū Bakr al- Marwazī sampai masa Ibn al-Ṣāghūnī. Adapun genealogi Khurasan dimulai dengan ‘Uthmān Ibn Sa‘īd al-Dārimī sampai kepada Abū Ismā‘īl al-Harawī. Genealogi ini kembali menyatu dalam genealogi Ibn al- Jawzī yang menggabungkan dua jalur ini langsung dari Ibn al-Ṣāghūnī dan murid-murid Abū Ismā‘īl al-Harawī. Setelah itu, diteruskan oleh Ibn Qudāmah yang membawa genealogi Ibn al-Jawzī dari Baghdad ke Damaskus.

 

Ibn Taymīyah (661-728 H/1263-1328 M); Pembaharu Teologi Salafi

Ibn Taymīyah merupakan nama populer dari Aḥmad Ibn ‘Abd al- Ḥalīm Ibn Taymīyah al-Ḥarrānī. Ibn al-‘Imād dan al-Shawkānī menyebut Ibn Taymīyah sebagai al-mujtahid al-muṭlaq.  Di kalangan murid- muridnya, Ibn Taymīyah lebih sering disebut dengan Shaykh al-Islām. Ibn Qayyim al-Jawzīyah dan Ibn Kathīr adalah murid-muridnya yang paling berjasa dalam mempopulerkan gelar tersebut. Ibn Qayyim al- Jawzīyah menyebut gelar Syaykh al-Islām di dalam ī‘lām al-Muwaqqi‘īn sebanyak tigapuluh satu kali. Ia hanya dua kali menyebut nama Ibn Taymīyah tanpa sebutan gelar tersebut.[6] Di dalam kitab yang lebih kecil seperti Ighāthat al-Lahafān, Ibn Qayyim al-Jawzīyah menyebut gelar tersebut untuk Ibn Taymīyah sebanyak duabelas kali. Adapun dalam Madārij al-Sālikīn yang merupakan kompilasi doktrin tasawuf versi Salafi, maka Ibn Qayyim al-Jawzīyah menyebut gelar tersebut sebanyak delapan puluh lima (85) kali. Ini mengindikasikan bahwa murid-murid Ibn Taymīyah memang sangat berhasil mempopulerkan gelar tersebut terhadap dirinya.

Ibn Taymīyah terhubung dengan para pendahulu Ḥanābilah dari banyak tokoh. Di antara mereka terpenting adalah Ibn ‘Abd al-Dā’īm, Shaykh al-Islam Ibn Abū ‘Amr, al-Fakhr Ibn al-Bukhārī, dan lainnya.

Berikut adalah diagram Geneologi teologi salafi[7] :

 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

Ibn al-‘Uthaymīn (1348-1422 M/1929-2001 M), Ṣāliḥ al-Fawzān (1944-sekarang), Rabī‘ Ibn Ḥādī (1933-sekarang), dan ‘Abd al-‘Azīz al-Rājiḥī Text Box: LPBA-LIPIA
(Abdul Hakim Abdat, Farid Oqbah, Ja’far Umar Talib, Abdul Qadir Jawwaz, dan lainnya)

 

 

 

 

 

 

Manhaj Salafi

Istilah “manhaj” merupakan salah satu kata yang sering dikemukakan di kalangan Salafi, sehingga membedakan mereka dengan lainnya. Makna dari kata manhaj secara bahasa adalah al- ṭarīq al-wāḍiḥ atau jalan yang jelas.[8]  Dalam konteks ini, kata manhaj lebih identik dengan sistem berpikir atau kaidah yang digunakan oleh Salafi.

‘Abd Allāh Ṣalfīq al-Ẓufayrī mengemukakan dua marḥalah atau tahapan dalam perkembangan manhaj Salafi. Pertama, tahapan tabyīn wa-tawḍīḥ atau penjelasan terhadap kaidah-kaidah keagaman dan dasar-dasarnya. Masa ini adalah abad-abad awal kemunculan Islam yang ia sebut dengan ‘ahd al-Salaf al-Ṣāliḥ (masa Salaf yang salih). Masa mereka merupakan standar dalam penimbang kebenaran seseorang, jamaah atau aliran. Itu disebabkan karena agama pada masa mereka dipahami sebagaimana mestinya.[9]

Kedua, tahapan tadwīn atau kodifikasi terhadap manhaj Salafi. Masa ini ditandai dengan pengodifikasian Sunnah, penulisan pandangan ulama Salaf terhadap persoalan teologi, taḥdhīr (peringatan untuk mewaspadai) persoalan yang tergolong bid‘ah. ‘Abd Allāh Ṣalfīq al-Ẓufayrī menyebutkan masa ini lebih tepatnya adalah pada abad ketiga dan keempat Hijriah. Karya-karya pada masa tersebut memang sangat khas dengan tema-tema pertahanan terhadap teologi. Hal tersebut terlihat dari kemunculan kitab al-Radd ‘alá al-Zanādiqah wa-al-Jahmīyah dan al-Sunnah yang dinisbatkan kepada Aḥmad Ibn Ḥanbal, Khalq Af‘āl al-‘Ibād dan al-Radd ‘alá al-Jahmīyah karya al- Bukhārī, al-Radd ‘alá al-Jahmīyah karya ‘Uthmān Ibn Sa‘īd al-Dārimī, dan lainnya.[10]

manhaj Salafi dapat dirumuskan dengan lebih sederhana lagi kepada dua prinsip. Pertama prinsip kemurnian akidah. Kemurnian akidah Salafi tercermin dari trilogi tauhid (tawḥīd al-rubūbīyah, tawḥīd al-ulūhīyah, dan tawḥīd al- asmā’ wa-al-ṣifāt). Prinsip ini membuat manhaj Salafi berbeda jauh dengan Ash‘arīyah, apalagi dengan Mu‘tazilah, Shī‘ah, Qadarīyah, Jabarīyah, Khawārij, dan Murji’ah. Gerakan-gerakan teroris seperti ISIS, Boko Haram, al-Qaeda, dan lainnya hanya dipengaruhi oleh Salafi dalam persoalan sifat-sifat Allah. tetapi kelompok teroris tersebut menambahkan tauhid lain, yaitu tawḥīd mulkīyah yang berkaitan dengan pemerintahan Islam dan penerapan hukum Allah. Tambahan tersebut membuat mereka tidak lagi murni bermanhaj Salafi.

Kedua, ittibā‘ atau mengikuti generasi al-salaf al-ṣāliḥ. Dalam ungkapan lain, keyakinan, pemahaman, dan amalan apapun yang berbeda dengan generasi Salaf, maka terindikasi bid‘ah. Setiap bid‘ah dianggap sebagai kesesatan. Inilah yang menyebabkan pengikut Salafi—baik ulama maupun awam mereka—sangat keras dalam menolak siapa pun yang dianggap berbeda dengan mereka. Perbedaan dalam masalah “kecil” atau satu persoalan saja, akan membuat seseorang yang mengaku Salafi menjadi keluar dari manhaj Salafi. Dalam ungkapan lain, persoalan furū‘ (seperti fiqh) dianggap sama beratnya dengan persoalan uṣūl (seperti akidah).

 

Pembakuan Teologi Salafi

Semua tokoh yang termasuk kepada periode pra Damaskus belum mempunyai keseragaman dalam mensitematiskan teologi Salafi. Ibn Taymīyah adalah orang pertama yang berhasil mengompilasi dan mensistematiskan ajaran teologis para pendahulunya. Sebelumnya, di dalam genealogi Baghdad terdapat Ibn al-Jawzī yang mencoba mengritisi pendahulunya dalam masalah sifat Allah dengan menukil periwayatan yang dianggapnya valid bersumber dari Aḥmad Ibn Ḥanbal atau tokoh setelahnya. Tokoh-tokoh yang dikritisi Ibn al- Jawzī adalah Ibn Abū Ḥāmid, Abū Ya‘lá, dan al-Ṣaghūnī. Akan tetapi, kaidah-kaidah yang ditawarkan oleh Ibn al-Jawzī tidak populer karena cenderung mirip dengan Ash‘arīyah, padahal ia anti mereka. Barangkali ketidakpopuleran tersebut dikarenakan karena karya- karya teologis Ibn al-Jawzī tidak komprehensif. Oleh karena itu, Ibn Taymīyah merunut kembali karya-karya tokoh-tokoh pendahulunya dalam mensistematiskan teologi Salafi.

 

Trilogi Tauhid Sebagai Inovasi Teologi Salafi

Trilogi tawḥīd dalam teologi salafi yaitu ulūhīyah, rubūbīyah dan al-Asmā’ wa-al-Ṣifāt merupakan hasil inovasi Ibn Taymīyah dalam membangun dan mensistematiskan prinsip dasar dalam teologi Salafi. Konsep ini—terutama ulūhīyah dan rubūbīyah—belum ditemui dalam karya-karya Aḥmad Ibn Ḥanbal, ‘Abd Allāh Ibn Aḥmad Ibn Ḥanbal, Ibn Khuzaymah, ‘Uthmān Ibn Sa‘īd al-Dārimī, Ibn Abū Ya’lá, Ibn al-Ṣāghūnī, Ibn al-Jawzī, Ibn Qudāmah dan lainnya. Namun konsep trilogi ini telah diterima oleh semua kalangan yang menyebut dirinya Salafi pasca Ibn Taymīyah.

Dalam ungkapan lain, seseorang atau kelompok tidak akan disebut Salafi, kecuali jika menerima dan meyakini trilogi tersebut. Ini terlihat dari karya-karya teologis Salafi pasca Ibn Taymīyah selalu didedikasikan untuk memperkuat atau memberikan komentar terhadapnya. Kesan ini dapat ditemui dalam Madārij al-Sālikīn karya Ibn Qayyim al-Jawzīyah, Sharḥ ‘Aqīdat al-Ṭahāwīyah karya Ibn Abū al-‘Izz, dan puncaknya Kitāb al-Tawḥīd karya Muḥammad Ibn ‘Abd al- Wahhāb dan kitab-kitab sharḥ nya.

 

Tawḥīd al-Asmā’ wa-al-Ṣifāt Sebagai Implementasi Tekstualisme

Dalam berinteraksi dengan teks yang menyebutkan nama dan sifat Allah di dalam al-Qur’an dan Sunnah, Ibn Taymīyah mempunyai pendekatan yang khas. Pendekatan tersebut membedakannya dengan teolog lain. Pendekatan ini sering disebut dengan ijrā’ al-lafẓ ‘alá ẓāhirihi (membiarkan makna teks berdasarkan zahirnya). Ungkapan ini dapat diartikan dengan, “Membiarkan teks berbicara sendiri”. Ibn Taymīyah beragumentasi dengan Hadis dari Ibn ‘Abbās yang menyebutkan bahwa kesamaan antara surga dan dunia hanyalah nama, bukan substansi. Ia menganalogikan bahwa jika surga dan dunia hanyalah sama pada tataran nama, maka apalagi jika dibandingkan Allah dan makhluk[11]

 

Kesimpulan

dapat dikatakan bahwa teologi Ibn Taymīyah mengenai al-asmā’ dan al-ṣifāt adalah dengan menerima makna teks secara zahir tanpa melakukan interpretasi sebagaimana Ash‘arīyah dan Mu‘tazilah. Selain itu, tidak tepat jika diasumsikan bahwa Ibn Taymīyah sebagai seorang mujassim sebagaimana Karrāmīyah. Barangkali ungkapan yang tepat adalah Ibn Taymīyah menolak Allah sebagai suatu jism, tetapi menerima sifat yang menjadi atribut jism selama memang ada teks yang menyebutkannya. Penerimaan tersebut terlihat dari sikap Ibn Taymīyah menerima istiwā’ (bersemayam), nuzūl (turun), ḥadd (batas), majī’ (kedatangan), dan lainnya sebagai sifat Allah.

Salafi sebagai aliran teologi yang puritan, terbukti mempunyai geneologi yang terhubung kepada generasi Salaf, terutama kepada sosok Aḥmad bin Ḥanbal. Puritanisme Salafi bukanlah tanpa sebab dan latar belakang. Gerakan pemurnian mereka dilatarbelakangi penyiksaan dan penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa dengan teologi “resmi” yang berseberangan. Kebangkitan Salafi untuk pertama kali telah dimulai sejak masa Aḥmad bin Ḥanbal, dengan dukungan penguasa pada masanya, yaitu Khalifah al-Mutawakkil. Lalu, mengalami kebangkitan kedua kalinya pada masa Ibn Taymīyah, tetapi tidak mendapat restu dari penguasa dan kebanyakan ulama semasanya yang berhaluan Ash‘arīyah. Terakhir, kebangkitan Salafi ditandai dengan pergerakan Muḥammad Ibn Abd al-Wahhāb yang maju dengan dukungan penguasa. Apabila “istana” telah menjadi basis dari suatu ajaran teologi, maka aliran dan kelompok lain akan tersingkirkan.

Adapun dalam masalah teologi, Salafi selalu menyebut diri mereka sebagai Ahl al-Ḥadīth wa-al-Athar atau Ahl al-Sunnah wa-al- Jamā‘ah, meskipun mayoritas ulama Sunni yang berhaluan Ash‘arīyah dan Mātūrīdīyah tidak menerimanya. Sebagaimana Ash‘arīyah dan Mātūrdīyah, ulama Salafi juga tidak menganggap dua aliran teologi tersebut bagian dari Ahl al-Sunnah wa-al-Jamā‘ah.

Dalam hal ini, “pembeda abadi” antara Salafi dengan dua aliran Sunni yang lain adalah pada doktrin trilogi tauhid. Salafi dengan ijtihād Ibn Taymīyah tersebut, benar-benar berhasil merumuskan tiga

tauhid yang menjadi ajaran teologi dengan argumentasi yang kuat dan mengakar. Seorang atau kelompok atau institusi tidak sah disebut sebagai Salafi tanpa menganut tiga pilar tersebut. Trilogi tauhid tersebut adalah tawḥīd rubūbīyah, tawḥīd ulūhīyah, dan tawḥīd al- asmā’ wa-al-ṣifāt. Sebelumnya Ash‘arīyah juga pernah mempunyai dua istilah yang pertama, tetapi tidak menyebutkan yang ketiga. Meskipun sama secara istilah, Salafi mempunyai definisi dan pemahaman yang berbeda dengan Ash‘arīyah. Doktrin trilogi tauhid tersebut tidak pernah ditemukan di dalam karya-karya teologi Salafi pra Ibn Taymīyah. Tetapi ia mampu meyakinkan pengikutnya bahwa tiga pilar tersebut tidak keluar dari ajaran para pendahulu mereka.

Dalam konteks kenusantaraan, secara filologis trilogi tauhid tersebut tidak pernah muncul dalam karya-karya teologis ulama terduhulu, terutama dari abad keenambelas sampai kesembilan belas Masehi. Doktrin tersebut ditransmisikan oleh tokoh-tokoh keagamaan yang pernah mengenyam pendidikan di Saudi Arabia pasca tahun 1960-an. Ini bertambah kuat dengan lembaga-lembaga Salafi yang dibangun di berbagai negara, tanpa terkecuali Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan pembangunan LPBA pada tahun 1980, dan menjadi LIPIA pada tahun 1985. Belum lagi beberapa pesantren modern yang mengganti kitab akidah mereka dengan karya-karya teologis yang ditulis oleh Salafi kontemporer. Pasca reformasi, penyebaran teologi Salafi berkembang lebih terbuka melalui lembaga pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, radio, televisi, dan media sosial. Oleh karena itu, pengajaran teologi Salafi telah menjadi konsumsi sehari-hari siapa saja yang mempunyai akses terhadap media-media tersebut. Di satu sisi, kenyataan ini sangatlah menguntungkan dan memberi dampak positif dalam memberikan kemudahan kepada khalayak umum untuk mengakses hal-hal yang bersifat religius. Tetapi di sisi lain, dikarenakan teologi Salafi bersikap sangat ekslusif dibandingkan lainnya, maka kemudahan tersebut sangat berpotensi memunculkan konflik keagamaan, baik perorangan maupun kelompok, bahkan antar negara. Hal itu disebabkan pemahaman yang menjadi manhaj Salafi tidak hanya terbatas kepada ranah teologi, tetapi juga fiqh. Salafi selalu mengaitkan pemahaman dan pengamalan fiqh yang bersifat furū‘ dengan teologi yang bersifat uṣūl. Di masa mendatang akan menjadi pemandangan umum, apabila ada seorang awam yang cenderung Salafi mengritisi dan menyalahkan tokoh agama yang berbeda pandangan atau amalan dengannya.

Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka sangat disarankan agar kelompok mainstream seperti Muhammadiyah dan NU membuat pergerakan yang mampu mengimbangi keagresifan persebaran Salafi. Apabila tidak dilakukan, maka besar kemungkinan peran mereka akan tergantikan di masa mendatang dengan gerakan Salafi yang massif. Tanggapan kelompok mayoritas perlu dilakukan dengan dukungan dari penguasa, baik secara langsung maupun tidak langsung.

 

 

Sumber :

 

  Abd Allāh Ibn ‘Abd al-Ḥamīd al-Atharī, al-Wajīz fī ‘Aqīdat al-Salaf al-Ṣaliḥ (Riyad: Wizārat al-Shu’ūn al-Islāmīyah wa-al-Awqāf wa-al-Da‘wah wa-al-Irshād Saudi Arabia, 1422),

 

  Al-Bukhārī, al-Jāmi‘ al-Ṣaḥīḥ tahqiq: Muṣṭafá Dīb al-Bughā (Beirut, Yamamah: Dār Ibn Kathīr, 1987), v. 3

 

Al-Tabari, Tarikh al-Tabari,

 

Saba Anjum, “A Significant of Bait al-Hikmah” dalam IPDR 73

 

Ibn Khaldūn, Tārīkh Ibn Khaldūn (Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, t.t.), 1

 

 al- Suyūṭī, Tārīkh al-Khulafā’ tahqiq: M Muḥyī al-Dīn ‘Abd al-Ḥamīd (Mesir: Maṭba‘at al- Sā‘ādah, 1952)

 

Ibn Qayyim al-Jawziah, I’lam al-Muwaqqi’in,

 

Arrazy Hasyim, Teologi Muslim Puritan; Geneologi dan Ajaran Salafi.

 

  Muḥammad Ibn Abū Bakar al-Rāzī, Mukhtār al-Ṣiḥāḥ,

 

  ‘Abd Allāh Ṣalfīq al-Ẓufayrī, Ḥaqīqat al-Manhaj al-Salafī wa-Ḥājat al-Ummah al-Māssah ilayh fī Najātihā wa-ntiṣārihā ‘alá A’dā’ihā (Kairo: Dār al-Minhaj, 2014

 

  ‘Abd Allāh Ṣalfīq. al-Ẓufayrī, Ḥaqīqat al-Manhaj al-Salafī,

 

  Hannad Ibn al-Sari, al-Zuhd tahqiq: Abd al-Rahman al-Firwa’i (Kuwait: Dar al-Khulafa; 1406)



[1] Abd Allāh Ibn ‘Abd al-Ḥamīd al-Atharī, al-Wajīz fī ‘Aqīdat al-Salaf al-Ṣaliḥ (Riyad: Wizārat al-Shu’ūn al-Islāmīyah wa-al-Awqāf wa-al-Da‘wah wa-al-Irshād Saudi Arabia, 1422), 15.

[2] Al-Bukhārī, al-Jāmi‘ al-Ṣaḥīḥ tahqiq: Muṣṭafá Dīb al-Bughā (Beirut, Yamamah: Dār Ibn Kathīr, 1987), v. 3/1335, no. 3450. Teks hadisnya adalah:

خير أمتي قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم

[3] Saba Anjum, “A Significant of Bait al-Hikmah” dalam IPDR 73, 47-58; Ibn Khaldūn, Tārīkh Ibn Khaldūn (Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, t.t.), 1/480; al- Suyūṭī, Tārīkh al-Khulafā’ tahqiq: M Muḥyī al-Dīn ‘Abd al-Ḥamīd (Mesir: Maṭba‘at al- Sā‘ādah, 1952), 229

[4] al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa; 268.

[6] Ibn Qayyim al-Jawziah, I’lam al-Muwaqqi’in, 3/72 dan 3/34.

[7] Arrazy Hasyim, Teologi Muslim Puritan; Geneologi dan Ajaran Salafi, H.195

[8] Muḥammad Ibn Abū Bakar al-Rāzī, Mukhtār al-Ṣiḥāḥ, 688.

[9] ‘Abd Allāh Ṣalfīq al-Ẓufayrī, Ḥaqīqat al-Manhaj al-Salafī wa-Ḥājat al-Ummah al-Māssah ilayh fī Najātihā wa-ntiṣārihā ‘alá A’dā’ihā (Kairo: Dār al-Minhaj, 2014), 32.

[10] ‘Abd Allāh Ṣalfīq al-Ẓufayrī, Ḥaqīqat al-Manhaj al-Salafī, 42.

 

[11] Hannad Ibn al-Sari, al-Zuhd tahqiq: Abd al-Rahman al-Firwa’i (Kuwait: Dar al-Khulafa; 1406), 49 dan 51

Tidak ada komentar

Sejarah Perkembangan Teologi Salafi dan Manhajnya

Salafi sebagai Gerakan Puritan Salafi muncul disebabkan semangat kembali kepada kejayaan masa lalu, terutama tiga abad di permulaan Isla...

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.